Kini kertas kuning itu sudah lusuh.
Sekitar tiga tahun yang lalu, secarik kertas bertuliskan Mahameru,
sengaja saya tempelkan ke dream wall kamar kos saya. Ya, saya pernah punya
mimpi. Di usia saya yang berkepala dua, kaki saya yang imut ini harus sudah
pernah mencicipi puncak gunung. Hehe.
Dan bim! Sekarang mimpi itu sudah terwujud. Tepat pada hari Sabtu pahing
(weton saya), 11 Mei 2013, pukul 09.25, saya berhasil berdiri di tanah
tertinggi pulau Jawa. Mahameru.
Here We
Start, Here We Go
Surabaya-Tumpang
Sebelum berangkat ke Semeru itu saya
seperti dilanda dilemma berat. Pertama, TA belum kelar. Kedua, belum dapet ijin
dari Mamak di kampung. Dan yang ketiga, persiapan yang sudah saya lakukan sudah
sangat maksimal.
Sebut saja olahraga ke stadion
buat latihan fisik, dua kali. Itu sudah kemajuan karena saya sudah bisa muterin
lapangan dua setengah puteran lebih, tanpa berhenti. Juga saya sudah hunting sandal gunung baru bareng
partner nggunung saya, si Ayuk. Dan yang paling galau lagi, saya sudah packing
semua peralatan masuk tas ransel imut si Ucup. Tinggal berangkat dah. Masak
galaunya baru dateng di saat beginian?? Hmm, biasa ding, itu sindrom memang.
But well, setelah meneguhkan dan
menancapkan kuat-kuat mimpi menapakkan kaki di Mahameru, akhirnya saya
berangkat juga ke Jurusan Fisika. Di sana semua kawan sudah siap. Carier-carier
udah siap menjulang setinggi badan saya. Haha, sepertinya hanya tas saya yang
paling imut. (Nggak usah tanya kenapa saya nggak bawa carier juga. Ntar malah
nggak jadi naik gunung, tapi naik di tempat :P)
Kami bertujuh: saya, Ayuk, Abror,
Radi, Patar, Ucup, dan si mbah (dan ditambah rombongan angkatan 2010 bertujuh
juga) berangkat ke terminal Bungurasih. Lalu kami naik bus ekonomi. Dengan
ongkos 12ribu kami turun di terminal Arjosari, Malang. Karena malem, jadi perjalanan
cepet. Dari Surabaya jam 22.00, nyampek sana jam 00.30.
Gosipnya, Semeru bakal mbudak di
weekend itu. Maklum, libur panjang, ditambah pula jalur pendakian Semeru emang
baru di buka setelah cuti sejak Januari lalu. Bener aja, baru nyampek Arjosari,
kami udah banyak ketemu gerombolan anak muda dengan carier di punggung mereka.
Pasti mau ke Semeru, (sotoy!)
Well, dari Arjosari kami sempet
nggembel. Nggelar matras dan klempohan. Jadi ceritanya, buat ke Tumpang itu
kita harus naik angkot. Nah, angkotnya baru ada selepas subuh. Ada sih banyak
yang nawarin carteran angkot, tapi mending enggak, mahal soale. Jadilah kami
ngemper. Enak kok tapi, ada banyak colokan di sana yang bisa kita pake buat
ngisi ulang baterei. Trus juga kita bisa nge-charge tenaga dengan tidur, atau
nambah doping stamina dengan ngopi di warkop. Atau juga seperti yang saya dan
teman-teman saya lakukan by waiting the time. Nggosip, nggojlok. Harus tahan
gojlokan. (Pemanasan ternyata).
Pukul 03.30 kami mulai beranjak
dari Arjosari. Naik ke angkot kuning, seperti angkot WK di Keputih. Uniknya,
kami yang berjumlah 19 (tambahan junior dan kawan mbolang ucup) bisa muat dalam
satu len itu dengan di jejal2in. Tas gunungnya di susun di atas angkot. Tenang,
talinya rapat, jadi nggak bakal jatoh, walau susunannya tinggi dan si mobil
ngebut. Karna dia nggak bisa ngebutlah. Haha. Sangar pokoke. Serba Mekso.
Saya aja didudukin di
tengah-tengah antara baris kanan dan kiri. Ya, mentang-metang saya yang paling
imut. Jadi ditempatinnya di tempat yang paling sempit. Edan. Haha. Kaki saya
sampek kesemutan duduk lama di sana.
Naik angkot nggak sampek sejam
udah sampek di daerah Tumpang. Kami langsung diturunkan di sebuah ujung gang.
Di sana ada semacam rumah singgah buat pendaki Semeru. Pemilik rumahnya bernama
Pak Rus. Beliau yang punya kendaraan truk buat angkutan ke Ranu Pane. Dia punya
beberapa truk kok. Yang bikin sangar dan so sweet itu, si mantunya Pak Rus.
Masih muda, cantik, ramah pula. Sejak kami dateng jam 04.00, si mbak itu
langsung menyambut kami. Mempersilahkan istirahat di dalam rumah, di kasih teh
anget, dan juga kamar mandi gratis.
Nyaman bangetlah. Berasa ada di
rumah sendiri aja. (Iya lah, rumahnya aja seperti nggak menyisakan ruang
privasi sang pemilik rumah. Setiap sudut sudah digelarin karpet biar para
pendaki bisa istirahat senyaman mungkin).
Di situlah, banyak interaksi
antar backpacker dan pendaki. Ajang golek bolo lah istilahnya. Itu yang bikin
saya salut. Meski nggak kenal, nggak saling tahu dan baru ketemu, anak ‘alam’
itu kebanyakan selalu asyik untuk diajak ngobrol. Wawasan sosialnya tinggi.
Di tempat itu, kami terjebak
antri berkepanjangan. Kami harus menunggu jam keberangkatan. Jumlah kami
tanggung soalnya. Untuk satu truk kurang, untuk gabung dengan kelompok lain kebanyakan.
Baru setelah matahari mulai terik, jam 07.00 sebagian kelompok kami berangkat.
Sedang saya dan kawan-kawan seangkatan baru bisa berangkat pukul 08.00. Lama
banget. Saya dan ayuk aja sampek sempet jalan-jalan ke pasar cari gorengan
tempe mbos, dan ote-ote. Abror malah beli pisang satu cengkeh. Wkwkwkwk.
Saya dan ayuk nggak habis piker
kenapa di tengah pasar tradisional ditu yang dipilih abror buat dibeli itu
pisang. Hahahahaha. Kan mending kami, beli gorengan. Lebih tepatnya nungguin
ibunya goreng gorengan. Jadi makannya mongah-mongah, pas banget buat ngangetin
badan.
Oh ya, dari Surabaya kami sengaja
belum shoping cemilan dan air. Nah, sekedar info, bagi yang mau ndaki juga,
mending belinya di Tumpang aja. Ada minimarket yang bisa jadi jujukan buat beli
kopi, susu, madu, coklat, atau baterei senter, jajan, dll. Lebih simple kalau
belanja di Tumpang, karena nggak perlu bawa air yang berat dari Surabaya. Tapi
ya resikonya nanti harus packing ulang.
Terusan ceritanya?? *Jadi pengen nih
BalasHapusitu tuh mbak,, masih separuh,,,
Hapusseritanya puanjaaaang :D
ayo naik gunung mbak