Senin, Januari 26, 2015

Pilih Mana, Jadi Dokter Orang Hidup Apa Orang Meninggal?

Kombes Pol Dr. Budiyono, MARS
Ketua Tim DVI Polda Jatim sekaligus Kabid Dokkes Polda Jatim
25 Tahun Menjadi Dokter Jenazah

Minggu (5/1) saya dapat giliran nulis Persona. Kebetulan lagi pengen banget wawancara sama orang keren satu ini. Dan alhamdulillah dapat kesempatan untuk wawancara langsung dengan beliau. Mau ikutan baca? Yuk marii
Ketua Tim DVI Polda Jatim Kombes Pol Dr Budiyono MARS
KERJA tim Disaster Victim Identification (DVI) Polda Jatim dalam menangani korban jatuhnya pesawat AirAsia QZ8501 rute Surabaya-Singapura mendapat apresasi dari kepolisian dunia alias Interpol.  Kerja tim DVI ini dianggap cepat, tanggap dan juga lengkap dalam memberi layanan baik dari segi identifikasi jenazah maupun memberi layanan pada keluarga korban.

Siapa orang di balik tim DVI Polda Jatim itu? Kombes Pol Dr Budiyono MARS jawabannya. Menjabat Kabid Dokkes Polda Jatim yang secara otomatis juga menjadi Ketua Tim DVI, kerjanya memang patut diberi acungan jempol.

Wartawan Radar Surabaya, FATIMATUZ ZAHROH beberapa waktu lalu berbincang panjang lebar dengan pria asli Madura ini. Berikut petikan wawancaranya.

Selamat pagi Pak Budi. Selamat atas kerja tim DVI Polda Jatim yang mendapatkan apresiasi dari Interpol.
Selamat pagi. Alhamdulillah, ini adalah capaian kita bersama. Kerja kita mendapatkan apresiasi lantaran apa yang kita lakukan terbilang cukup bagus. Kita terbilang sigap dalam menghadpi kabar pesawat itu jatuh.

Bagaimana sih aslinya kerja tim DVI Polda Jatim hingga mendapat apresiasi dari dunia itu?
Begitu siang kita dapat kabar pesawat hilang kontak, kita mulai menyiapkan segala sesuatunya. Mulai dari posko untuk keluarga korban, menyiapkan cool storage berkapastas 200 jenazah dengan suhu minus 20 derajat dan tenda otopsi sampai 20 unit untuk pemisahan jenazah. Kita juga siapkan family assisten center. Kita siapkan itu semua untuk mengantisipasi, siapa tahu jenazahnya tiba dalam jumlah langsung banyak.

Apakah hal tersebut termasuk istimewa sampai diberi apresiasi?
Ya, mereka bilang bahwa apa yang kita lakukan ini beda dengan negara lain. Bahkan saya diundang untuk menjadi narasumber untuk memberi materi di Lyon, Prancis. Itu adalah apresiasi yang spesial.

Kalau boleh tahu, bagaimana kerja tim DVI mulai awal mengidentifikasi korban hingga akhirnya berhasil mengidentifikasi jenazah lalu diserahkan pada keluarga?
Prosesnya panjang. Kami tim DVI terbagi dalam lima fase. Fase pertama adalah tim olah TKP. Mereka bertugas langsung di Pangkalan Bun. Mereka bertugas mengumpulkan dan mencari bukti-bukti primer, termasuk properti dari jenazah. Namun kita sempat yang kesulitan karena di awal-awal evakuasi,  kondisi jenazah kurang baik. Misalnya sempat terjadi perhiasan korban yang dipisahkan.
Mungkin maksudnya baik agar tidak ada pihak yang mencuri kesempatan. Tapi itu kadang bisa menghilangkan bukti-bukti. Tapi setelah kita komunikasikan dengan tim SAR, alhamdulillah semuanya lancar.

Lalu, fase yang selanjutnya?
Fase kedua adalah tim pemeriksa post morthem. Mereka terdiri dari banyak ahli mulai dari antropologi forensik, patologi forensik, ahli dalam bidang finger print, dan juga ahli dalam bidang identifikasi DNA.
Berikutnya fase ketiga adalah tim pemeriksa ante mortem dari pihak keluarga., disusul dase keempat adalah tim rekonsiliasi, dan fase yang terakhir adalah fase evaluasi keseluruhan.

Apa kendala terbesar dalam melakukan setiap tahapan identifikasi jenazah?
Dalam mengidentifikasi jenazah korban pesawat jatuh yang sering terjadi adalah kondisi jenazah yang sudah tidak lengkap. Pertama tentu karena adanya pembusukan, terlebih lantaran jenazah sudah berhari-hari di air laut yang bersifat asin sehingga banyak menghilangkan bukti primer, mulai dari sidik jari hingga bentuk tubuh jenzah tersebut.
Bahkan tidak jarang, tubuh sudah tidak utuh, jenis kelamin juga susah dibedakan, namun untungnya kita memiliki tim post mortem yang terdiri dari banyak pakar. Jadi untuk jenis kelamin dan usia, hingga akhirnya bisa diketahui. Malah yang seringnya menghadapi kendala adalah pada tim antemortem.

Memangnya apa yang dihadapi tim di ante mortem?

Misalnya, yang menjadi korban di pesawat itu satu keluarga. Sehingga keluarga yang mendaftarkan data-data ante mortem itu bukan dari keluarga dekat. Mereka tidak kenal betul dengan korban. Data ante mortem seperti adakah tanda lahir, tato, bekas luka, kemudian bekas operasi, itu mereka tidak tahu. Ini membuat jenazah susah untuk di-match-kan.

Tapi, bukannya ada cara lain yang lebih instan dan praktis untuk identifikasi, yaitu dengan mencocokkan DNA?

Tidak semudah itu. Memang kalau dari tes DNA, kemungkinan untuk match akan lebih akurat. Namun, prosesnya pun tidak bisa secepat itu. Malah cenderung lebih lama. Lebih-lebih untuk korban yang ada di laut, untuk DNA kadang pun bisa berkurang akuratannya. Dan yang paling penting, yang bisa dicocokkan DNA nya adalah orang tua atau anak dari korban. Nah kalau korbannya sekeluarga? Ini yang susah.

Adakah korban AirAsia yang sampai susah diidentifikasi DNA nya? Lalu apa yang dilakukan oleh tim DVI?

Ada, karena jenazah kondisinya sudah mengalami pembusukan yang parah, bahkan sampel DNA nya sudah tidak terlalu bagus. Maka tim DVI antemortem akan turun ke lapangan. Mereka akan pergi ke tempat tinggal korban untuk mengambil sampel DNA korban yang tersisa di rumah. Bisa dari sikat gigi, sisir, dan juga baju kotor, kadang di sana masih ada sampel DNA yang bisa diambil. Seperti rambut, atau keringat yang menempel di baju kotor.
Ada tim kami bahkan sampai ke Blitar untuk mendapatkan data itu. Itu juga yang kami lakukan jika data ante mortem kurang. Seperti pula ada korban yang belum mengisi rekam sidik gigi, kami akan turun mencari di mana korban pernah melakukan rekam sidik gigi, karena kan tidak mungkin jika keluarga yang mencari dokter itu. Ada yang keluarga yang emosinya masih labil, dan sebagainya. Maka kami yang turun langsung mencari data.
Bapak ini dokter yang keren !
Tapi, bukankah ada rekam CCTV bandara? Untuk korban yang masih utuh bajunya, kenapa tidak bisa langsung disimpulkan bahwa itu adalah korban yang sesuai dengan manifest di pesawat?
Tidak bisa begitu. Tugas tim DVI adalah mengidentifikasi jenazah yang bisa dipertanggungjawabkan baik secara hukum maupun ilmiah. Kita melakukan identifikasi post mortem dan ante mortem, dalam rapat rekonsiliasi, dua laporan tim itu akan dimatchkan.
Hanya jika semua data itu cocok 100 persen baru kesimpulan bisa dikeluarkan. Jika ada sedikit saja yang masih belum cocok, maka harus diulang lagi proses pencocokannya.
Kalau patokannya hanya CCTV, atau properti yang ditemukan di lapangan, siapa yang bisa mempertanggung jawabkan jika ternyata barang yang dikenakan saat itu ternyata adalah pinjaman dari penumpang lain? Kalau tertukar siapa yang akan bertanggung jawab?

Apakah semua jenazah sudah pasti berhasil diidentifikasi? Apa ada kemungkinan jenazah gagal diidentifikasi? Kalau ada, bagaimana?

Tentu saja ada. Jika sampai akhirnya pencocokan jenazah mulai dari post mortem, ante mortem tidak ada yang cocok, maka kami tidak akan bisa mengembalikan jeanzah itu ke siapapun. Maka harus kami kuburkan secara masal.

Setelah menjalani karir sebagai ketua tim DVI di enam Polda di Indonesia, apakah persitiwa jatuhnya Air Asia QZ 8501 ini adalah peristiwa yang paling besar yang melibatkan tim DVI?

Kalau dibilang AirAsia ini luar biasa, sebenarnya tidak. Malah kalau dibilang biasa. Namun, mungkin kelebihannya mengapa peristiwa ini disorot banyak pihak sampai negara-negara lain adalah karena ada warga asing yang menjadi salah satu korban. Kalau dibilang, luar biasa, misalnya tsunami Aceh, kejadian bom Bali, lalu identifikasi imigran gelap Timur Tengah, dan juga kecelakaan peswat Garuda di Jogja itu juga peristiwa yang besar.

Menjadi dokter Polri, apa memang cita-cita Bapak?

Saya memang sejak kecil ingin menjadi dokter. Tapi cita-citanya dulu jadi dokter orang hidup, tapi ternyata jalannya adalah menjadi dokternya orang yang sudah meninggal.
Tapi, bagi saya ini adalah sebuah pengabdian. Kalau mencari materi, tentunya jadi dokter orang yang masih hidup lebih besar ya. Tapi di sini yang dicari adalh murni pengabdian. Bagi saya pribadi, kepuasan itu adalah ketika kita bisa berhasil mengidentifikasi jenazah dan mengembalikannya pada keluarganya. Itu tidak ternilai harganya,

Lalu bagaimana ceritanya bisa jadi dokter Polri?

Begitu saya lulus dari Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, saya langsung ditarik untuk menjadi PNS dan ikut wajib militer tahun 1989. Kemudian saya ditugaskan sebagai Kepala Rumah Sakit Bhayangkara Polwil Sulawesi Utara Polda Sulawesi Utara. Nah dari sanalah karir  saya sebagai dokter polri. Sejak itu terus menjadi Kabiddokkes di polda provinsi, keliling, hingga di Jatim ini adalah karir sebagai Kabiddokkes yang ketujuh.

Menurut Anda, bagaimana perkembangan DVI di Indonesia?

Kondisi saat ini sudah jauh lebih baik. Perkembangan DVI di Indonesia sendiri mulai bergeser ke arah profesional setelah bom bali 2004. Sebelum itu, masih belum memenuhi standar Interpol.
Dulu sempat ada kejadian, ada korban kecelakaan dimana ada salah seorang korban tewas diidentifikasi sebagai salah seorang manifest penumpang. Nah setelah beberapa tahun, ternyata pria tersebut kembali ke rumahnya, istrinya sangat terkejut lantaran kepolisian sudah membuat identifikasi bahwa suami sudah meninggal dan jenazahnya pun sudah dikuburkan sehingga ia menikah lagi. Padahal suaminya itu selemat dan tersesat dalam suatu pedalaman.
Itu adalah cerita saat tim DVI kita masih belum seprofesional sekarang. Itulah sebabnya dalam identifikasi benar-benar harus cocok dan bisa dipertanggungjawabkan dari sisi ilmiah ataupun hukum. (*/jee)

The Doctor and his family
Keluarga Mengerti Kerja Saya yang Berpindah-Pindah
Kemandirian Jadi Kunci Didik Anak

Bekerja sebagai abdi negara bagi Buyono harus dijalani dengan penuh rasa ikhlas dan juga penuh rasa pengabdian sebab, karena profesinya sebagai dokter Polri, membuatnya bekerja nomaden alias berpindah-pindah. Ia bahkan kerap ditugaskan di luar Jawa hingga keliling dari satu daerahj ke daerah yang lain. Hal itu membuatnya sering meninggalkan istri dan juga tiga buah hatinya.
“Untungnya keluarga saya mengerti, bahwa ini adalah resiko saya sebagai dokter polri. Sejak 1995, saya akhirnya memutuskan untuk menetap di Jakarta. Jadi selama saya dipindah tugas, saya pindah sendiri sedang mereka menetap disana. Ini demi pendidikan anak-anak,” tutur pria penghobi olahraga fitnes ini.
Namun, meski tinggal berjauhan dengan keluarga, saban satu minggu sekali, istri dan juga anak-anaknya kerap mengunjunginya di Surabaya. Sebab, Budiyono terbilang susah untuk meninggalkan daerah tempatnya bekerja, jadi ia hanya bisa pulang kalau ada tuga ke Jawa Barat atau Jakarta, maka ia akan menyempatkan diri untuk sejenak pulang ke rumah.
Akan tetapi, meskipun kerap tidak jauh dengan keluarga, Budiyono terbilang sangat dekat dengan tiga orang putrinya. Yaitu Nydia, Vidita, dan juga Salsabila. Kebiasaan terbuka dalam keluarga dan juga berdiskusi membuat mereka selalu ada untuk satu sama lain. “Mulai dari soal sekolah mereka, pekerjaan, atau masalah pribadi mereka atau misalnya pacar mereka, anak-anak saya selalu cerita,” ungkap suami dari Yennyi Lelita Oktaviawaty ini.
Budiyono mengaku sangat bersyukur dengan keluarga kecil yang ia miliki. Sebab, meski tinggal berjauhan, doengan modal kepercayaan dan juga kemandirian yang ia tanamkan pada anak-anaknya, semua anaknya telah berhasil menjadi anak-anak yang sukses.
“Anak saya yang pertama lulus sarjana UI di usia yang masih 19 tahun, dan langsung ditark bekerja semagai manager di salah satu perushaan swasta asing besar di Indonesia,” tuturnya. Begitu juga anaknya yang kedua, putrinya itu kini sedang merampungkan studi di Belanda dengan modal beasiswa akademik. Pun begitu dengan putri bungsunya, kini putrinya itu sedang menjadi boardingschool untuk persiapan kuliah di Australia.
“Anak-anak saya ajarkan mandiri, karena saya tidak bisa memantau 24 jam. Dan kuncinya mereka saya ajarkan untuk suka baca, dan bacaan apa itu saya sediakan,” pungkasnya tersenyum. (ima)

Foto-Foto by Ahmad Khusaini 
Fotografer Radar Surabaya