Selasa, Mei 28, 2013

Lihat Milky Way di Ranu Kumbolo



Dulu pas saya masih semester empat, lihat foto senior-senior di Ranu Kumbolo itu mupeeeeng banget. Keindahan alamnya katanya emang nggak tertandingi. Sampai-sampai Ranu Kumblolo dapet julukan surganya para pendaki. Hmmmm… ternyata semua ini nggak ada yang bohong. Semuanya emang bener. Ranu Kumbolo emang indahnya bikin kita nggak berhenti nyebut Subhanallah.. 



Begitu kami tiba di Rakum, itu singkatan Ranu Kumbobo, saya dapet dari sebutannya para hikers Backpacker ITS yang waktu itu sempet gabung ndaki juga, kawannya Ucup, Yokka dkk. Yup, begitu kami tiba di Rakum, kami segera mbangun tenda. Kami harus cepat, karena si kabut yang dinginnya minta ampun itu rasanya sudah mulai turun untuk bertemu dengan si danau.

Ada tiga tenda yang kami bawa. Dua untuk tenda cowok dan satu untuk tenda cewek. Si Ucup ribet ndirikan tenda unyu milikny, maklum,, ngereyen dia. Si abror juga sibuk ndirikan tenda mungilnya, yang bakal ditidurin sama dia dan mbah. Tenda ketiga baru akan didirikan setelah tenda satu atau dua kelar. Iya, karena saya dan Ayuk jelas nggak bisa bangun tenda itu sendirian.

Akhirnya saya memutuskan untuk mbantu si Patar masak saja. Kami nggak masak besar malam itu. Cuman masak mi instan, dan sarden. Si Patar, koki andalan, sudah siap dengan bawang merah bawang putih juga cabe buat di campur dengan mi instan. Untungnya si Ucup di warung bu Endang tadi udah beli nasi putih. Jadi kami nggak perlu nanak nasi buat dinner.

Nggak cukup itu, sepertinya, malam pertama kami nggunug ini lebih tepat jadi malam camping semacam persami. Hehe. Karena selain mbontot nasi putih dari bawah, ternyata si Ucup cuga bawa bekal tahu goreng dan gorengan ikan tuna dari rumah. (itu artinya masakan kemarinnya pas masih di Surabaya). Untung nggak basi. :D

Kami makan malam dalam damai. Nggak damai ding, telur asin yang sempet diperebutkan Ayuk dan Radhi ternyata emang bener-bener basi. Baunya amis banget. Tapi, berdasarkan pada komitmen anak gunung bahwa makanan yang dibwa tidak boleh dibuang-buang dan sia-sia, kami memutuskan untuk tetap memakan telur busuk itu.



Rasanya? Hmmmm pahit-pahit bau gimanaaaa gitu. Hehe, tapi agak nggak terasa kok. Karena si koki Patar nyiasatin buat si telur itu dimasukkan ke mi instan. Haha, jadi baunya malah nnyebar. Dodol

Well..



Menghabiskan malam do Rakum itu ibarat makan daging duren berduri. Lhoh kok?

Iya banget. Soalnya, emang bener indahnya Rakum bikin speechless, tapi dinginnnya juga bikin mati kutu dan mati gaya. Gimana enggak, kami yang awalnya pengen bikin acara sharing kecil-kecilan habis makan ternyata sama sekali nggak terwujud. Walau sempeet sebentar ngumpull di tenda, ujung-ujungnya cuman saling gojlok, hingga akhirnya kami menyerah pada keadaan. Dingin. Pake seru pake banget.

Si Abror n mbah udah tewas duluan lepas makan, Ucup juga malah. Akhirnya kami masuk tenda masing-masing. Tapi emang banget kan ya, udah jauh-jauh dateng ke sini akhirnya cuman pindah tidur. Akhirnya saya dan ayuk menghabiskan sisa malam yang ada dengan gazing star.

Seumur hidup jujur saya belum pernah ngelihat langit seindah di Ranu Kumbolo. Tahu enggak kenapa? Langitnya bersih banget. Nggak ada mendung, nggak ada awan sisa-sisa polusi. Yang ada cuman langit dan ribuan bintang.

Saya bahkan sempet takut lihat bintang yang terangnya seperti lampu neon itu. Terangnya bikin saya merinding. Saya baru berani dan betah lihat langit ketika sudah di tenda, dan hanya keapala saya yang muncul keluar, bareng ayuk. Hehhe, mungkin ini rasanya takjub yang bener-bener ya akan keajaiban pencipta alam semesta. Sumpah, rasanya saya seperti diserbu ribbuan bintang itu. Takut.

Coba aja ada observatorium di Rakum, pasti pencinta atronomi seneng banget di sini. Surga banget buat yang hobi ngamatin bintang.

“Itu apa Yuk, kok bintangnya kayak di selimuti awan mbentuk sesuatu gitu?’’ Tanya saya ke Ayuk yang juga lagi ndongak di samping saya. Romantis banget ya, berdua, mandengin bintang. Haha.

“Itu Milky way,’’ jawab Ayuk. “Kata guru SD saya sih gitu dulu,’’ tambah dia. (Dia jawab gitu berasa saya SD nggak diajarin gituan haha.

OOoh,, jadi itu namanya milky way, alias galaksi BimaSakti yang menjadi tempat hidup bumi kita… ternyata kita bisa lihat ya. Saya nyebut berkali-kali deh disana. Alhmadulillah, naik gunung membawa kebaikan :D.
Sayangnya, meski udah berulang kali saya mengarahkan kamera ke langit buat mengabadikan tawuran bintang itu, tetep aja nggak bisa tertangkep. Karena kamera yang saya bawa cuma kamera poket, jadi settingannya pun terbatas. Eman banget…….

Tapi minimal, memori saya bisa merekamlah apa yang aya lihat. Tentang kelip bintang yang full memenuhi langit dari utara selatan barat dan timur. Juga si Milky Way yang menunjukkan jati dirinya dengan gugusan banyak sekali bintang kelap kelip hingga membentuk satu pola tersendiri. Seperti membentuk sekumpulan kabut dengan bintang-bintang yang sinarnya terang sekali di dalamnya. Subhanallah dah pokoke. :D

Nih,,, sedikit foto landscape Rakum yang unyu ketika pagi.
kalo pagi, kabut mulai turun
sunrise

 --Rakum, Dingin, Hipotermia
Sepertinya saya harus menyarankan dan meyakinkan kalian, para calon pendaki, untuk tidak meremehkan membawa obat-obatan standart ketika mau ke gunung. Seperti minyak kayu putih, salonpas cair, antangin, dan obat sakit gigi.

Terutama di Ranu Kumbolo. Bahkan ketika bukan musim penghujan sekali pun. Kata Ucup, temperatur di sini sekitar 14 derajat. Tapi saya sama sekali sangsi. Gimana enggak, rasa dingin hawa di sana itu semacam kalo kita lagi nge.genggam sebongkah es batu. Berapa derajat, itulah dinginnya si Ranu Kumbolo. Bahkan saya curiga, jangan-jangan kalau malam si danau berubah jadi taman ice skacting, yang pastinya membantu menurunkan temperature daerah di sekitarnya. Hehe

Tapi uniknya saya bisa tidur angler di tenda. Setelah menambahkan satu kaos kaki, dan satu training dilapisi jeans. Atasan kaos dan jaket parasut, baru kemudian sleeping bag merk Lapuma yang sisi polarnya dijamin anget banget :D

Kenyenyakan tidur saya sempet terganggu karena si Ayuk ternyata menderita Hipotermia. Tiba-tiba dia merintih seperti sesak nafas, dan terduduk. Ngakunya dia jantungnya semacam diremas sedemikian hingga dia susah buat narik nafas. Dia minum obat antangin, dan juga semacam obat sakit kepala agar bisa tidur. Kasihan. Akhirnya saya pijet dia, paling nggak kalo dia terjebak kemasukan angin, bisa terkurangi.

Ternayat benar. Setelah dipijet dengan di olesin salonpas cair, dia bisa tidur akhirnya. Ya, salonpas di gunung fungsinya seperti minyak kayu putih di kehidupan normal. Karena minyak kayu putih di tempat semacam ini udah nggak mempan sama sekali. Jadilah salonpas yang panas itu kami oleskan disekujur tubuh agar hangat.

Satu lagi cerita soal menikmati dinginnya Rakum. Di tengah-tengah nyenayaknya tidur (maklum mungkin saya kecapekan banget), saya merasa tiba-tiba gigi saya sakit semua. Dari gigi depan, gigi seri, geraham, taring dan gigi susu, ehh… semuanya sakit. Kamu pernah mersa missal kamu gigimu terbentuk sesuatu yang sangat keras, emm,, atau seperti ketika kalian di tinju, pasti kemudian kalian akan merasa gigi kalian nyeri.. sampai serasa mau copot..? pernah? Itu yang saya rasakan, haha.

jalan-jalan pagi di Rakum
“Yuk, kamu semalem mukul aku ta? Kok sampek gigiku rasanya nyeri banget?’’ Tanya saya pas pagi nganterin Ayuk pipis. Iya, saya kira ayuk tidurnya bertingkah, sapa tahu tangannya nyaplok muka saya, makanya terus gig saya ngilu kayak mau copot.

“Enggak lah…Oh, kalo gigi, saya juga ngerasa kok. Akibat dingin kayaknya Im,’’ jawab dia.
Oooooh, karena dingin ternyata. Haha, saya bahkan sempet khawatir, kalaoo gigi saya mau copot benera gimana. Pulang dari Semeru masak jadi ompong. Wkwkwkwk

--Beakfast di Rakum dengan Telur Madu Busuk ala Chef Patar---
Percayalah, segala sesuatu yang nggak akan kolu kamu makan di kehidupan normalmu akan terasa enak ketika kamu ada di gunung. Dan kalian harus ingat postulat untuk tidak menyia-nyiakan makanan.

Itulah yang terjadi di rombongan kami. Si telur asin yang malang itu, mau tidak mau harus kami makan, dan tidak di buang. Dengan dalil, eman, takut kualat, dan sebagainya. Tapi emang ya, si Patar itu ada aja kreasinya. Pagi-pagi, pas saya masing melungker di dalam tenda, Patar minta madu yang saya bawa. Ternyata dia pake buat masak si telur itu.

Tau-tau pas saya di bangunin buat sarapan, heheh gabut, tuh telur asin udah jadi menu siap santap bersanding dengan mie instan, sarden, dan nasi anget khas tanakan nesting.

breakfast menu
“Tar ini masak apa?’’ tanaya Radhi.

“Telur madu bumbu kari,” jawab Patar cengengsan.

Saya menaikkan alis. “Telur busuknya catutin Tar,” kata saya sarkatis melihat di telur ada warna-warna 
hitam. Busuk. Haha, semua ngakak. Tapi gitu-gitu abis juga kecuali bagian yang warna hitem. Lahap di makan sama kami semua. Wajar, cuaca dingin begini, emang paling enak itu ya makan.



makan sambil begigil

Usai sarapan, kami beres-beres untuk melanjutkan perjalanan ke Mahameru. Tapi sebelum itu kami bersih-bersih diri dulu di air danau Rakum. Ya itung-itung ngincipin air danau. Si Patar mandi bebek di sana. Sedang saya dan yang lain hanya sikat gigi dan cuci muka. Dan cuci piring.



Kalo pagi banyak yang mancing di Rakum
Sekedar wawasan, kita, para pendaki dilarang lho buat ngotorin danau ini. Hukumnya haram. Nyunyi muka, sikat gigi, maupun nyuci nesting pun, sabunnya sama sekali nggak boleh masuk ke air danau. Jadi ngambil air di botol akua, lalu bersihin pake sabunyya di tanah. Karena kalo nggak gitu, bisa bayangin kan, gimana jadinya kalo ribuan orang pendaki bershi-bersih semuanya di danau, pasti rakum udah nggak jadi surga lagi.
Itulah pentingnya menjaga alam. Agar kita semua masih bisa menikmatinya lima, sepuluh, atau berpuluh-puluh tahun lagi. Ceileeeeeh…

Sampah-sampah organik, sisa makanan, nggak boleh kita buang geletakan. Tapi dibuang dengan nggali lobang di tanah, biar ntar bisa cepet teurai. Sedang sampah non organic kita, kita kantongin dan kita bawa sampai kita turun ke pos Ranu Pane lagi. Karena ada syarat bagi pendaki juga, kalau turun gunung bawa kantong plastik berisi sampah. Kalau bisa sembari nyangkingin sampah yang mungkin kita lewati, atau paling nggak minimal adalah membawa pulang lagi sampah rombongan kita sendiri.

Usai bersih-bersih, sambil nunggu packing, mengabadikan moment,, :D

rasanya nggak rela ninggalin tempat ini

tanjakan yang harus kami lewati untuk meninggalkan Rakum

tenda kami dan perkampungan dadakan
Radi ngelamun
Packing
 Rakum emang selalu bisa jadi tempat yang seru buat hunting foto..

ababil


 Setelah semua packing selesai, kami segera siap-siap untuk kembali jalan. Kalimati, itu tujuan kami selanjutnya. Kami akan menginap di sana semalam, baru kemudian Summit Attack menuju Mahameru.

Selalu ada semangat ketika kita bersama-sama
 next episode...
Road to Tanjakan Cinta, Oro-Oro-Ombo dan Kalimati




Jumat, Mei 24, 2013

Empat Level Menuju Surga


ini motivasi kami

Kami mengawali langkah dengan canda kanan kiri. Jalanan yang mulai menanjak. Kami segera disapa dengan hamparan perkebuanan sayuran. Daun bawang, dan juga tanaman-tanaman khas gunung. Kata Ucup, perjalanan ke Ranu Kumbolo bakal memakan waktu lima jam. Itu perjalanan standar.

“Nrabas kompas ya?” teriak Ucup yang ada di barisan paling depan.

“Yo, potong kompas wae,” sahut Abror yang ada di nomor dua dari belakang.

Si Ucup memang dari bawah sudah mewacanakan agar nanti kita bakal melenceng, membelok, dari rute utama jalur pendakian. Biar lebih cepat katanya. Hasssh,, kalau saya mah ikut saja. Yang penting cepet sampai dan selamat sampai tujuan.

Sementara saya masih kerepotan mengatur ritme nafas saya yang pendek ini, ternyata kami telah berada di tepi persimpangan. Semacam belokan menanjak tersedia di kiri, sedang di kanan, ada semak-semak yang terbuka membantuk jalan setapak. “Oke kita potong kompas,” teriaknya. Ia lalu memimpin rombongan melewati rimbunnya semak ilalang. Hawa dingin yang tadi sempat terasa saat berjalan sepuluh meter mula-mula. Kini sudah hilang sama sekali. Diganti dengan badan yang penuh peluh dan nafas yang ngos-ngosan.

Aha,, ini jalur trabas kompas itu?!!!!!

Dalam hati saya berusaha menahan apa yang saya rasakan. Pertama, yang saya rasakan adalah GALAU. Nafas saya rasanya sudah mau habis aja. Kepala nyut-nyutan mendadak, sesekali bahkan pandangan saya kabur. Ini masih awal brooooo,,, masak mau nyeraaaah??? Gini doaaang??? Muleh ae… *itu kalimat sarkatis yang menggaung dalam kepala saya.

Saya heran sama si Ayuk yang ada tepat di depan saya. Di tengah jalanan yang menukik tajam, curam, dan yah, nanjaknya seperti menaiki tangga jurusan tiga anak tangga sekaligus. Heran, si Ayuk ngakunya selevel sama saya, tapi dia kayak kuat heppy-heppy aja?? Kok dia nggak minta break sih???

Saya menyerah. Sekitar dua puluh langkah, saya minta istirahat. “Ini berapa jam Cup jalan beginian?’’ Tanya saya sembari ndoprok di semak-semak. Ngos-ngosan nggak ketulungan. “Satu jam” Dia jawabnya acuh banget. Dan tau apa yang saya terjemahkan dari sorot dan jawaban dia, seolah dia berkata, “Bakal tambah sui lek mondak mandek,” hehe. Benar ternyata, belum sempat nafas saya jadi teratur ritmenya, dia udah menggerek rombongan buat jalan. “Ayo” katanya berdiri di depan saya yang masih nggak berdaya. Oh meeeeen,,, pelis pooo, paling  nggak tunggu nafas ku mbeneh. Tapi nggak e.

Willy nilly, dari pada merepotkan kelompok, saya kuatkan beridiri dan menelan bulat-bulat jalanan yang seperti wall climbing itu. Sekali berdiri, ilalang-ilalang itu seperti nggak mau dikalahin tingginya. Jadilah saya dan kawan-kawan berjalan sembari menyibak kelambu ilalang. Dengan jalanan yang tetep seperti itu. Kurang lebih 40 menit, kami baru keluar dari jalur tebas kompas itu.

Lepas itu, kami melalui jalur pendakian yang sama dengan pendaki yang lain. Berbeda dengan jalanan yang tadi, jalur pendakian ini setidaknya lebih manusiawi bagi pemula. Hehe. Nanjaknya cukup landai. Artinya tetap naik jalannya, hanya saja ndak menukik.

Dalam fase ini saya sudah cukup stabil. Si Abror yang jalannya di belakang saya selalu berpetuah, “Di atur nafasnya, sekali ngehirup, sekali ditahan, terus dihembuskan,” katanya. Sabar ya, hahaha. Ia nih orang emang jagonya nemenin orang yang jalannya lambat seperti saya. Dan ternyata resep itu manjur lho, dengan narik nafas, menahan, saya bisa tiga langkah naik sekaligus. Itu kemajuan.

naik naik ke puncak gunung
Dan berkat itu, saya jadi faham, kalau semakin sering kita berhenti, maka kita akan semakin capek. Karena setelah kita berhenti usai berjalan, maka nafas kita akan kembali berorientasi menyesuaikan ritme dengan langkah kita. Tapi kalau berjalan dengan kecepatan stabil, dan nggak sering berhenti, maka stamina bisa awet. Hueeeh guaya. Ini kalau si Ucup Ayuk Abror Radi Patar baca pasti saya langsung di jitakin. Wkwkwkwkwkwk

Ehem, back to….

Ada empat pos yang harus kita lewati biar sampai di Ranu Kumbolo. Kalau Ranu Kumbolo itu surge, maka untuk menuju Surga itu ternyata ada empat level yang harus kita lewati dengan segala macam paket yang disajikan tiap levelnya.

Lepas dari jalur trabasan, nyatanya kami masih empat puluh menitan buat sampai di Pos 1. Setiap pos ditandai dengan adanya paguyuban yang atapnya dibuat dari asbes. Sepanjang perjalanan menuju pos itu, kami mulai tercerai-berai. Si ucup jalan bareng sama si Ayuk udah jauh di depan. Saya di depan Abror dkk..
Kadang kami ditungguin, kadang ya ditinggalin. Yang sering bikin kesel itu ya pas kita bercapek-capek ria menyusul tempat dimana mereka istrirahat menunggu kami, eh, begitu kami sampai di tempat mereka, mereka jalan. Mayaaaak!!!! Akhirnya saya mutung, kalau ngeliat mereka berhenti di depan saya, saya tidak mau berhenti bergabung buat istirahat, tapi terus melaju, berjalan.

“Wes panas iku, makane nggak gelem mandeg,” celetuk Abror, agak ngece. Haha, iya mungkin ya, karena di level itu, saya sudah bisa ngatur nafas.. Yeeeee !!!!

perjalanan ke Pos 1. Lamaaaa
Yang paling seru selama mendaki itu ya saat bertemu dengan pendaki lain yang lagi istrirahat. Pasti selalu disapa dengan disangoni ucapan penyemangat. Begitu juga saat kita sedang istirahat dan dilwatin sama pendaki lain. Kadang malah ada yang nyeletuk “Semangat Mas Mbak, di atasan dikit ada indomaret kok,” Ngooooooook.

Pos 1 vs Pos 2. Nggak ada apa-apanya
Setelah beberapa waktu lamanya, akhirnya kami sampai juga di Pos 1. Di sana kami berhenti sebentar. Trus lanjut jalan lagi. Setiap berhenti paling isinya gojlokan mulu. Hahaha, kalo nggak gitu saling bertukar semangat.

tiba di Pos 1. Say: Kami masih kuat.....Nggak ada apa-apanya ... -_-
liat dan amati tinggi tas abror dan tinggi badan abror. suangar

kegejean radi dan patar. homo di gunung *sindrom
Si Ucup kembali ngajak kami cepet beranjak, karena katanya dari pos 1 ke pos 2 itu jaraknya nggak jauh. Dan ternyata benar, deket banget, tau tau udah sampek di pos 2. Saya malah nggak berhenti di Pos 2, lanjut menuju ke pos 3. Haha, benar-benar sudah panas soalnya badannya.

Mungkin ini ya fungsinya latihan fisik kalo mau naik gunung. Kalau aja latihan fisik ku kemarin-kemarin lebih niat dan labih panjang ranger waktunya, mungkin akan lebih baik. Hehehe. Tapi selain itu Ucup juga bilang sih, ada tempat yang lebih asyik buat kita berhenti istirahat. Karena bisa sekaligus foto-foto, setelah plakat Watu Rejeng, ada jembatan yang keren soalnya.

Kami baru berhenti lagi di pos 3. Di sana kami mulai benar-benar terlihat lelah. Si Ayuk, malah udah tepar-tepar dia. Kebukti pad di pos 3 dia geletakan, berserakan, sama si patar. Hahaha. Mereka ngikutin jalan kudanya si Ucup sih. Makanya forsir jadinya, ngoyoh.



Kalau saya? Sama. :P 
Tapi mending, kan masih bisa motret mereka yang bertepar-tepar ria.

---Tanjakan Setan ---
Dari pos 3, kami dibilangin Ucup, kalau sebentar lagi kami akan melewati rintangan berjudul tanjakan setan. Beeeuuuuh… Horor kan ya dari namanya. Mata si Ucup seolah ngerling ke atas menunjuk apa yang ia sebut dengan tanjakan setan.

in gayanya Ucup pas nerangin si tanjakan setan
Yap, tepat di atas tempat kami tiduran, tepat di atas pos 3, tanjakan curam 60 derajat sudah menanti. Ia seolah menunggu dengan menantang, “Kuat nggak lo ngelewatin gue tanpa berhenti????” melihat itu saya berasa pengen pingsan aja, siapa tau ada Ayuk yang mau ngegendong. Hahaha. Ngimpi!

“Tiap sepuluh langkah berhenti,” kata Ucup. Huaaaaah, kata-kata itu bener-bener seperti setetes air di siang bolong. Seger sih, tapi kurang banget.. hehe.

Well, Patar yang glesotan itu akhirnya berjalan di depan saya. Ayuk tetep di depan saya, agak jauh. Well, jadi tanjakan setan ini hampir mirip dengan jalur trabas kompas tadi. Nanjaknya curam tapi nggak kayak naik tiga tanggak sekaligus. Kalau gitu kan malah capek karena langkahnya makin panjang. Kalau curam landai begiini masih bisa disiasatin dengan jalan pelan-pelan, dan langkahnya nggak lebar-lebar. Tapi prediksi Ucup salah total. Nggak sampek sepuluh langkah, Ayuk udah mandeg, break. Aku juga. Tapi bentar sih, nggak lama-lama, jadi masih aman.

si Tanjakan Setan
Go to Pos 4. Kerlingan Mahameru
Dari pos 3, tujuan kami adalah pos 4. Perjalanan ke pos 4 ini adalah perjalanan yang paling menyenangkan. Jadi ingat kata si Abror, mendaki gunung itu nggak cumin soal mendaki, berjalan, tapi juga menikmati perjalanan.

Hmm, boro-boro menikmati perjalanan, kalo nafas aja masih gelagapan. Nah, baru di perjalanan menuju pos 4 ini saya banar-benar mngamati sekitar. Dan menyadari bahwa saya sedang berjalan di gunung, di hutan. Sadar bahwa kanan saya adalah tebing, sedang kiri saya ada jurang yang ditumbuhi pohon pinus yang menjulang.

Ya, karena perjalanan ke pos 4 ini cukup landai dan banyak jalan mendatar. Bahkan sesekali jalannya menurun. Kalao gini dari tadi enak kali ya. Seruan-seruan tentang Ranu Kumbolo yang sudah dekat pun kian menambah semangat untuk terus berjalan.

Dan satu yang mulai menyapa tubuh adalah,,, dingin. Sejenak saja berhenti dan diam, dingin akan segera menemani dan menusuk kulit kayak jarum suntik. “Tangan sambil digerak-gerakne,” itu suara abror yang berjalan di belakang saya. Bener tuh, tangan rawan kram soalnya.

Dan well, pemandangan yang dapat nikmati di tengah kabut yang mulai berderu, dingin yang mulai mematikan kulit kaki, di sebelag kiri, ada dua bukit yang saling beririsan untuk menyapa kami. Bukit yang paling belakang itu bukan bukit sembarangan. Bukit itu adalah Mahameru.

Si Mahameru mengntip di balik bukit
Puncaknya yang gagah, redup, dan sayu, namun menunjukkan keagunganNya, seperti mengerling pada semua pendaki yang sedang berjalan. Seperti dia sedang berkata “Hoi, aku di sini. Masih jauh denganmu. Apa kamu masih sanggup?”

Dalam hati, saya berujar, esok, ketika matahari sudah berganti, saya aka nada di sana. Itu bisikan yang saya suarakan dalam diam dengan volume minimum. Saya agak dilemma, saya takut menjadikan pendakian Semeru adalah ambisi. Bukan mimpi. Tapi saya tetap menyelipkan keyakinan yang tinggi dengan control yang tinggi pula, agar tidak takabur, bahwa saya akan ada di sana.

Setelah berjalan satu jam, kami sampai di Pos4. Yang dijuluki surganya para pendaki telah ada di depan mata. Hamparan air danau nya yang hijau dari kejauhan mengundang kami untuk segera sampai. Rasanya udah kayak pengen njeburin diri aja. Haha.

Kami istirahat lama di pos 4. Kabut sudah mulai mengisi ruang di antara kami. Bahkan kalau kita bicara, udah kayak di daratan eropa aja. Berembun. Sangar. Ademnya udah menusuk nusuk tuh. Di pos 4 itu kebetulan ada rombongan yang kelar nyalahin api unggun. Rasanya, anget banget. Hehe.
Nggak mau ketinggalan momen, foto…




dari Pos 4, ranu kumbolo yang ramah itu sudah kelihatan 'ngawe-ngawe'
Dari pos 4 ke Ranu Kumbolo masih memerlukan waktu setengah jam. Ranu Kumbolo udah kayak kampung yang lagi bedol desa. Rakum penuh banget sama tenda warna-warni. Saya nggak ngebayangin kalau weekend ini bahkan sampai bikin Rakum full begini.  Dari jarak pandang pos 4, sekeliling danau udah pada booked sama pendaki-pendaki yang sampai duluan.

Berhubung, haru kian petang, jam tangan saya udah membidik pukul 16.15, padahal dari pos 4 itu masih harus jalan setengah jam lagi. Kami harus cepat. Atau kalu tidak, kami akan gelimpungan karena belum ndirikan tenda di kegelapan. Oh no! lebih baih sekarang saja jalannya ngebut, toh, cuman turun ini. Hehehe

Akhirnya, kami sampai di ranu Kumbolo Tepat sebelum malam gelap

Ranu Pane: The Real Starting Point


Begitu truk milik Pak Rus datang, kami bergegas menaikkan barang bawaan kami ke atas truk. Begitu juga dengan satu rombongan yang kebagian berangkat bareng kami. Semua tas di susun di pojokan dengan susunan melintang. Sedang manusia-manusianya berdiri berjajar mengisi ruang yang kosong. Berusaha mendapatkan pegangan tangan yang erat karena jalanan di depan akan nanjak.

Saya dan kawan-kawan, Ayuk Patar Abror Mbah dan Radi dapet tempat paling dekat dengan tumpukan tas. Itu artinya paling depan. Sedang Ucup duduk di samping pak supir yang sedang bekerja. Karena dia naik paling akhir setelah lobi-lobian dengan Pak Rus. Si Ucup ini sudah lumayan kenal sama Pak Rus, makanya kami bisa dapet harga 30 ribu tiap orang untuk sampai di Ranu Pane dengan truk Pak Rus. Yang lain ada yang bayar 33 ribu. Hehe Alhamdulillah.

Perjalanan ke Ranu Pane itu sangat sesuatu. Ranu Pane yang ada di Lumajang itu kami tempuh dengan waktu dua jam. Berdiri, jalanan nanjak 45 derajat, dan berkelok-kelok. Semoga kalian bisa membayangkan. Merindingnya itu nggak ketulungan. Cuman pegangan tas-tas yang rawan nggelundung, atau kalo enggak pegangan sisi pinggiran truk yang bikin tangan sakit, kram.


Tapi jangan kahawatir, nggak serem-serem amat kok. Karena rasa seremnya itu terselimurkan dengan iandahnya pemandangan pegunungan yang wow sekali. Masih di Malang, kita akan di sapa oleh kebun-kebun apel, sayur-sayuran, kebun cabe, dan banyak lagi. Kami bahkan melewati tembusannya savana Bromo. Iitu di atas videonya..

Ada juga video perjalanan yang horor banget...



Begitu masuk ke Probolinggo, kita bisa melihat savana yang merupakan terusannya Gunung Bromo. Keren banget. Rasanya pengen tiduran aja di padang savanna itu. Hijau banget. Dan di jalanan itu Mahameru udah mulai ngintip-ngintip melihatkan kegagahannya. Kami bahkan sempet main tebak-tebakan mencari yang mana gunung yang bakal kita daki. 

Well, adrenalin kalian akan di uji habis-habisan oleh tanjakan berkelok dan juga kebolehan Pak Rus dalam mengemudi. Saya dan kawan-kawan nggak sekali teriak histeris terutama saat trus wana kuning ini hendak tiba-tiba berhenti mendadak untuk mengatur gigi perseneling tepat di ujung tanjakan berbelok. Padahal samping kita itu jurang. Belum lagi saat harus berpapasan dengan truk lain. Atau juga ketika jalanannya hanya setapak, kanan kiri jurang, dan jalannya berbatu. Oh men.. Ampun!!
Ranu Pane 
Setelah hampir dua jam, kami akhirnya sampai di Kecamatan Senduro Lumajang. Di depan mushola dan tanah lapang, kami semua diturunkan dari truk. Di samping tanah lapang itu terlihat bibir Ranu Pane menyapa dengan ramah. 

Di Ranu Pane ada toilet yang cukup bersih untuk dipakai ganti baju atau mandi. Dari pada di atas yang deket pos perijinan, saya lebih menyarankan untuk menggunakan toilet yang di bawah ini. Karena nggaka antri, dan airnya banyak.
Jadi dari tanah lapang itu, kami harus naik ke atas, menuju pos perijinan. Kami harus berjalan sekitar 10 menit untuk bisa sampai di sana. Hm,, perjalanan belum dimulai. Haha, iya, karena selama naik ke pos itu saja, saya mulai menyadari kalau tas bawaan saya itu berat. Ketambahan air dua botol sih. 

Para pendaki bergantian berangkat nanjak

Setibanya di pos, Ucup segera registrasi. Sebenarnya nggak apa nggak pake lapor ke pos, tapi berarti nggak dapet ansuransi keselamatan. Maksudnya kalau ilang atau terjadi apa-apa, petugas nggak bakal mau direpotin. Biaya registrasinya 10 ribu. Dengan duit segitu, pendaki dapet ansuransi keselamatan hingga Kalimati. Sedang dari Kalimati ke puncak, katanya nggak termasuk ansuransi.
Keberangkatan mendaki ada jadwalnya. Kami kebagian berangkat pukul 13.15 (padahal kami nyamek Ranu Pane jam 11.00). Jadilah kami ngemper lagi. Kami manfaatkan waktu dua jam itu dengan ke kamar mandi, packing ulang, dan juga isi perut. 

Ngomong-ngomong soal packing ulang, temen-temen yang lain cariernya pada full. Tas imut yang saya bawa juga. Tas Radi yang enteng pun, makanya tak pake, kini udah over load. Tas si Ayuk, yang tadi di bawa Radi, dan tas saya dibawa dia, udah berubah bentuk. Gemuk semua. Akhirnya kami memutuskan untuk membawa tas masing-masing.

Tas saya (punya Ucup) yang saya bawa
Barang bawaan kelompok pada dibawa Ucup, bahan makanan di tas Ayu dan Patar. Tenda ada di tas Ucup, sleeping bag saya juga di Ucup. Intinya tas saya tetep yang paling enteng. Saya nggak bawa satu botol minum sama sekali. Astaghfirullah… hehe berat banget e. Di depan warung makan Bu Endang menjadi kesaksian kerempongan kami menata carier.

Yang lucu malah si Ayuk yang bawa sunlight. Dan bocor ternyata dalam tas. Akhirnya sabun cuci itu dibuang karena kemungkinan besar tidak akan terpakai. Ada adegan lucu selama kami packing. Tentang telur asin. Kami bawa telur asin sebagai bahan makanan. Eh, ternyata belum naik udah bau. Si Ayuk yang awalnya kebgian bawa, malah lempar2an. Akhirnya Radi yang bawa.
Anak-Anak pada packing ulang. Saya hanya nonton. Dan berkta "Maaf tas saya sudah Full"

Hehe, saya merasa berdosa sebenernya pas bagi-bagi bongkar muat tas itu. Satu-satunya tas yang nggak bongkar muat itu tas saya. Hehehehehe. Saya emang nggak niat bongkar muat. Udah fix all dah soalnya. Saben anak-anak bilang “Im, telur asin kamu bawa ya?” atau “Im, sleeping bag masuk tas mu ya?” atau juga kalimat yang dengernya “Im, air satu di tasmu ya?”

Saya hanya menjawab dengan satu jawaban. Ndrenges. Senyum tanpa dosa. Masalahnya tas saya udah full. Fullnya barang pribadi semua. Sleeping bag saya aja ucup yang bawain. Bahan makanan jkelompok nggak ada yang sama saya. Hehehe. Jahat ya?
Tapi asli kawan-kawan saya ini benar-benar mengerti saya. Mereka nggak memaksakan untuk saya bwa yang berat-berat. Mereka rela membawakan air saya, dll, dan paham kalau nggak gitu saya nggak akan sanggup jalan. Hahaha. Thengkiiiiyuuuuu. Si Ayuk malah nekat bawa cariernya sendiri. Gileee. 
Tapi kami sempet mecah melon lho di Ranu Pane. Buat nambah tenaga, si Mbah bawa melon dari desanya. Jadi kamu makan sebelum jalan. Rasanya,, seger. Secara siang bolong, makan melon, cespleng, wkwkwk.
Aha, di Ranu Pane ini saya jadi ke inget sama film 5cm. yang saat Ian paranoid ngeliat makam. Ternyata emang ada makam di sana. Nggak serem malah kalau kata saya. Malahan lucu. Masak makam kijingnya warna warni. Ada yang tembok kijingnya diwarna biru laut, ada juga yang warna merah muda, dan ada juga yang warnanya kuning. Hehe, ada ada saja. Padahal makam islam.

*lihat yang di ujung kiri, itu makam warna-warni. Unyuuu
Saya ingat, waktu ke kamar mandi di pos itu, kami berdua masuk kamar mandi barengan,sakng antrinya. Saya sama ayuk. Iyuuwh,,, kamar mandinya (agak) jorok. Bawa tissue basah aja yang banyak, tissue basahnya harus higienis tapi. Kalau mau mandi, atau buang hajat, sempatkan mandi dan buang hajat di sini, karena ini adalah tempat terakhir kalian bisa menemukan toilet. Setelah ini, jangan harap. Karena yang ada hanya kamu, dan hutan belantara. Haha

Tepat pukul 13.15, kami mulai menyangklongkan tas kami masing-masing. Bergerak beriringan  meninggalkan warung Bu Endang. Ayunan langkah kami senada. Perlahan saya merasakan tanah yang saya tapakkan tidak lagi datar seperti biasa. Tapi menanjak. Nafas saya mulai berpacu. Dan inilah waktu yang sebenarnya memulai perjalanan. Trip to dream, Mahameru.

We Are Team

Trip To Dream, Semeru!!


Kini kertas kuning itu sudah lusuh.
Sekitar tiga tahun yang lalu, secarik kertas bertuliskan Mahameru, sengaja saya tempelkan ke dream wall kamar kos saya. Ya, saya pernah punya mimpi. Di usia saya yang berkepala dua, kaki saya yang imut ini harus sudah pernah mencicipi puncak gunung. Hehe.
Dan bim! Sekarang mimpi itu sudah terwujud. Tepat pada hari Sabtu pahing (weton saya), 11 Mei 2013, pukul 09.25, saya berhasil berdiri di tanah tertinggi pulau Jawa. Mahameru.

Here We Start, Here We Go
Surabaya-Tumpang
                                                               
Sebelum berangkat ke Semeru itu saya seperti dilanda dilemma berat. Pertama, TA belum kelar. Kedua, belum dapet ijin dari Mamak di kampung. Dan yang ketiga, persiapan yang sudah saya lakukan sudah sangat maksimal.

Sebut saja olahraga ke stadion buat latihan fisik, dua kali. Itu sudah kemajuan karena saya sudah bisa muterin lapangan dua setengah puteran lebih, tanpa berhenti. Juga saya sudah hunting sandal gunung baru bareng partner nggunung saya, si Ayuk. Dan yang paling galau lagi, saya sudah packing semua peralatan masuk tas ransel imut si Ucup. Tinggal berangkat dah. Masak galaunya baru dateng di saat beginian?? Hmm, biasa ding, itu sindrom memang.

But well, setelah meneguhkan dan menancapkan kuat-kuat mimpi menapakkan kaki di Mahameru, akhirnya saya berangkat juga ke Jurusan Fisika. Di sana semua kawan sudah siap. Carier-carier udah siap menjulang setinggi badan saya. Haha, sepertinya hanya tas saya yang paling imut. (Nggak usah tanya kenapa saya nggak bawa carier juga. Ntar malah nggak jadi naik gunung, tapi naik di tempat :P)


Kami bertujuh: saya, Ayuk, Abror, Radi, Patar, Ucup, dan si mbah (dan ditambah rombongan angkatan 2010 bertujuh juga) berangkat ke terminal Bungurasih. Lalu kami naik bus ekonomi. Dengan ongkos 12ribu kami turun di terminal Arjosari, Malang. Karena malem, jadi perjalanan cepet. Dari Surabaya jam 22.00, nyampek sana jam 00.30.

Gosipnya, Semeru bakal mbudak di weekend itu. Maklum, libur panjang, ditambah pula jalur pendakian Semeru emang baru di buka setelah cuti sejak Januari lalu. Bener aja, baru nyampek Arjosari, kami udah banyak ketemu gerombolan anak muda dengan carier di punggung mereka. Pasti mau ke Semeru, (sotoy!)

Well, dari Arjosari kami sempet nggembel. Nggelar matras dan klempohan. Jadi ceritanya, buat ke Tumpang itu kita harus naik angkot. Nah, angkotnya baru ada selepas subuh. Ada sih banyak yang nawarin carteran angkot, tapi mending enggak, mahal soale. Jadilah kami ngemper. Enak kok tapi, ada banyak colokan di sana yang bisa kita pake buat ngisi ulang baterei. Trus juga kita bisa nge-charge tenaga dengan tidur, atau nambah doping stamina dengan ngopi di warkop. Atau juga seperti yang saya dan teman-teman saya lakukan by waiting the time. Nggosip, nggojlok. Harus tahan gojlokan. (Pemanasan ternyata).

Pukul 03.30 kami mulai beranjak dari Arjosari. Naik ke angkot kuning, seperti angkot WK di Keputih. Uniknya, kami yang berjumlah 19 (tambahan junior dan kawan mbolang ucup) bisa muat dalam satu len itu dengan di jejal2in. Tas gunungnya di susun di atas angkot. Tenang, talinya rapat, jadi nggak bakal jatoh, walau susunannya tinggi dan si mobil ngebut. Karna dia nggak bisa ngebutlah. Haha. Sangar pokoke. Serba Mekso.

Saya aja didudukin di tengah-tengah antara baris kanan dan kiri. Ya, mentang-metang saya yang paling imut. Jadi ditempatinnya di tempat yang paling sempit. Edan. Haha. Kaki saya sampek kesemutan duduk lama di sana.

Naik angkot nggak sampek sejam udah sampek di daerah Tumpang. Kami langsung diturunkan di sebuah ujung gang. Di sana ada semacam rumah singgah buat pendaki Semeru. Pemilik rumahnya bernama Pak Rus. Beliau yang punya kendaraan truk buat angkutan ke Ranu Pane. Dia punya beberapa truk kok. Yang bikin sangar dan so sweet itu, si mantunya Pak Rus. Masih muda, cantik, ramah pula. Sejak kami dateng jam 04.00, si mbak itu langsung menyambut kami. Mempersilahkan istirahat di dalam rumah, di kasih teh anget, dan juga kamar mandi gratis.

Nyaman bangetlah. Berasa ada di rumah sendiri aja. (Iya lah, rumahnya aja seperti nggak menyisakan ruang privasi sang pemilik rumah. Setiap sudut sudah digelarin karpet biar para pendaki bisa istirahat senyaman mungkin).

Di situlah, banyak interaksi antar backpacker dan pendaki. Ajang golek bolo lah istilahnya. Itu yang bikin saya salut. Meski nggak kenal, nggak saling tahu dan baru ketemu, anak ‘alam’ itu kebanyakan selalu asyik untuk diajak ngobrol. Wawasan sosialnya tinggi.

Di tempat itu, kami terjebak antri berkepanjangan. Kami harus menunggu jam keberangkatan. Jumlah kami tanggung soalnya. Untuk satu truk kurang, untuk gabung dengan kelompok lain kebanyakan. Baru setelah matahari mulai terik, jam 07.00 sebagian kelompok kami berangkat. Sedang saya dan kawan-kawan seangkatan baru bisa berangkat pukul 08.00. Lama banget. Saya dan ayuk aja sampek sempet jalan-jalan ke pasar cari gorengan tempe mbos, dan ote-ote. Abror malah beli pisang satu cengkeh. Wkwkwkwk. 

Saya dan ayuk nggak habis piker kenapa di tengah pasar tradisional ditu yang dipilih abror buat dibeli itu pisang. Hahahahaha. Kan mending kami, beli gorengan. Lebih tepatnya nungguin ibunya goreng gorengan. Jadi makannya mongah-mongah, pas banget buat ngangetin badan.

Oh ya, dari Surabaya kami sengaja belum shoping cemilan dan air. Nah, sekedar info, bagi yang mau ndaki juga, mending belinya di Tumpang aja. Ada minimarket yang bisa jadi jujukan buat beli kopi, susu, madu, coklat, atau baterei senter, jajan, dll. Lebih simple kalau belanja di Tumpang, karena nggak perlu bawa air yang berat dari Surabaya. Tapi ya resikonya nanti harus packing ulang.