Minggu, Agustus 24, 2014

Perang Bedak Pahlawan Agustusan


 Gak kerasa merdeka kalau belum ada lomba-lomba agustusan kan ya?








Parade foto perang bedak agustusan 2014 ala Radar Surabaya. Bahagia itu sederhana. Bersama teman bersama mereka. 

Minggu, Agustus 17, 2014

Melihat Rumah Kelahiran Bung Karno di Pandean Peneleh Surabaya

RUMAH PROKLAMATOR: Di Jalan Pandean IV no 40 ini, diketahui sebagai tempat kelahiran Presiden RI pertama, Soekarno. Rumah ini belum dibuka untuk umum karena status miliknya 

Hari ini, tepat 69 silam, Soekarno-Hatta memproklamasikan kemerdekaan Indonesia. Dua tokoh proklamator ini kemudian juga menjadi presiden-wakil presiden RI pertama. Dan khusus untuk Bung Karno (sebutan Soekarno), sejak 2011 lalu sejarah telah mencatat bahwa dia ternyata lahir di Surabaya.
Fatimatuz Zahroh/Radar Surabaya

JALAN Peneleh Gg Pandean IV/40. Di sinilah rumah tempat Bung Karno dilahirkan. Tidak ada yang menonjol dari rumah bercat putih berukuran 5x14 meter persegi itu. Tempatnya juga tidak ada di pinggir jalan, melainkan harus masuk ke gang sempit yang tak bisa dilalui roda empat. Bahkan jika ke sana, naik roda dua pun harus turun dari kendaraan dan dituntun.

Di rumah bersejarah itu, bahkan tidak ada monumen atau prasasti resmi yang menyatakan bahwa tempat tersebut merupakan bukti sejarah bahwa proklamtor kemerdekaan Republik Indonesia Ir Soekarno dilahirkan di sana pada 6 Juni 1901 silam. Satu-satunya yang menyatakan bahwa rumah tersebut merupakan tempat lahir Bung Karno adalah plakat kuning dari Pemkot Surabaya. Plakat itu

menyatakan bahwa rumah itu adalah tempat lahirnya Bung Karno dan tempat beliau dulu tinggal saat masa kanak-kanak.

Meski demikian, rumah ini bukan milik pemkot. Pemilik rumah ini bernama adalah Mahmud. Dia juga menghuni rumah tersebut. Dia mengaku kerap merasa kerepotan untuk menerima tamu yang berkunjung. Ya, sejak ditetapkan sebagai tempat kelahiran Bung Karno, ada saja pengunjung yang mendatangi rumah ini. Namun kadang kala rumah bersejarah memang tidak dibuka, sebab statusnya adalah milik perorangan.

Mahmud mengungkapkan awalnya dirinya juga tidak tahun bahwa rumah yang sudah didiaminya sejak tahun 1990 itu memiliki nilai sejarah. Lebih-lebih merupakan lahirnya tokoh yang termasuk dalam jajaran pria berpengaruh di dunia. “Yang jelas baru tiga tahun lalu dinyatakan kalau dulu Bung Karno tinggal di sini,” ujarnya.

Tapi, meski dinyatakan sebagai tempat lahirnya Bung Karno, di rumah tersebut tidak ada bukti autentik sejarah tersebut, baik itu foto, kertas atau pun surat-surat yang bisa menjadi jejak sejarah. “Dari cerita sih, dulu Bung Karno lahir di sini. Kemungkinan dulu ditolong dukun bayi atau bidan di sini,” imbuhnya.  Selebihnya Mahmud tidak tahu menahu lagi.

Yang jelas, beberapa waktu yang lalu, putrid Bung Karno Megawati Soekarnoputri pernah datang ke rumah tersebut untuk turut belajar sejarah. Kamar kecil di rumahnya yang diduga tempat Bung Karno kecil menangis pertama kali pun sempat disambangi oleh mantan presiden wanita pertama Indonesia itu.

“Bangunannya memang tidak saya ubah. Dari awal sudah begini,” kata pria berusia 65 tahun ini. Mahmud mengaku sejak awal tinggal di tempat tersebut bersama dua saudaranya Jamilah dan juga suaminya.

Meski sudah ditetapkan sebagai tempat bersejarah, namun pemerintah tidak membeli rumah itu. Mau tidak mau, Mahmud yang dadakan menjadi ‘pemandu’ ketika banyak tamu datang. Seperti saat Radar Surabaya mengunjungi tempat ini. Yang diberikan oleh pemkot hanyalah plakat.

di rumah HOS Tjokroaminoto

Kondisi ini jauh berbeda dengan situs bersejarah lain yang bebeda beberapa gang saja dari Pandean. Yaitu di Jalan Peneleh Gang VII 29-31. Di situ juga terdapat sisa-sisa sejarah sang proklamator. Yaitu kediaman pendiri Sarekat Islam Haji Oemar Said (HOS) Tjokroaminoto, yang sekaligus menjadi tempat Bung Karno ngekos saat masih muda.

Rumah seluas 9x12 meter persegi itu lebih terawat dan terjaga. Ini lantaran tempat satu ini sudah ditetapkan sebagai cagar budaya. Seorang guide atau pengelola pun ditempatkan khusus untuk menjaga tempat ini.
“Dulu Bung Karno ngekos di rumah HOS Tjokroaminoto ini. Sekarang istilahnya kos, tapi kalau dulu seperti mondok,” ujar Eko Hadi Ratno, pengelola rumah bersejarah ini.

di dalam rumah HOS Tjokroaminoto yang jadi tempat mondoknya bung karno
Eko menyatakan bahwa rumah ini sudah ditemukan sejak tahun 1996 dan baru diresmikan tahun 2009. Berbeda dengan rumah di Pandean, rumah ini mendapat dana khusus dari Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Surabaya. Total dana per tahun sebesar Rp 12 juta digulirkan untuk biaya perawatan dan penjagaan.

“Sebenarnya rumah yang di Pandean ingin dijadikan datu paket dengan tempat ini. Tapi karena ada konflik pembebasan lahan, makanya rumah di Pandean belum juga menjadi cagar budaya resmi milik pemkot,” terangnya.

Terkait rumah Pandean, Eko sedikit menyebutkan penemuan rumah tersebut sebagai tempat lahir Bung Karno bukan sembarangan. Informasi dari berbagai sumber pun dikumpulkan untuk penetapan ini, termasuk mengundang keluarga Bung Karno dari Blitar. “Pihak keluarga Blitar pun membenarkan bahwa pada tahun kelahiran Bung Karno, orang tua Bung Karno memang tidak sedang di Blitar melainkan di Surabaya. Dan setelah diteliti, ternyata pada tahun tersebut tercatat bahwa orang tua Bung Karno kontrak rumah di Pandean tersebut,” terangnya.

"Kemerdekaan Indonesia itu berawal dari pintu ini," kata Eko. Iya. karena di sini awal mereka berdiskusi dan sadar bangsa kita tengah dijajah
Terkait rumah Pandean, Eko sedikit menyebutkan penemuan rumah tersebut sebagai tempat lahir Bung Karno bukan sembarangan. Informasi dari berbagai sumber pun dikumpulkan untuk penetapan ini, termasuk mengundang keluarga Bung Karno dari Blitar. “Pihak keluarga Blitar pun membenarkan bahwa pada tahun kelahiran Bung Karno, orang tua Bung Karno memang tidak sedang di Blitar melainkan di Surabaya. Dan setelah diteliti, ternyata pada tahun tersebut tercatat bahwa orang tua Bung Karno kontrak rumah di Pandean tersebut,” terangnya. 

Eko menerangkan bahwa di rumah Tjokroaminoto ini memang dijadikan banyak pemuda untuk berguru. Selain Bung Karno, ada juga tokoh kenamaan seperti Kartosuwiryo, Muso Halimin dan juga beberapa pemuda lainnya. Di sini, Tjokroaminoto selain mengajari tentang agama juga tentang kebangsaan. Tjokroaminoto berupaya menyadarkan para pemuda bahwa negara Indonesia sedang dijajah.

“Karena lama di sini, Bung Karno akhirnya menikah dengan putri Tjokroaminoto bernama Oetari. Bung Karno memang sejak dulu sudah dikenal sebagai murid yang luar biasa oleh beliau,” imbuhnya. (*/jee) 
nih tak kasih gambar di dalem ruangannya tapi pake narsis.. hehe

Dirgahayu ke 69 Indonesiaaa ...
Foto-foto oleh Ahmad Khusaini fotografer Radar Surabaya. Kecuali foto selfie terakhir.

Selasa, Agustus 12, 2014

Jelajahi 4.000 Kilometer Rel Kereta Api di Jawa dan Sumatera

BUKU KERETA API: Toshimichi Koga menunjukkan buku hasil karyanya yang merupakan catatan perjalanan menaiki kereta api di Indonesia. 

*Toshimichi Koga, Wakil Konsulat Jenderal Jepang di Surabaya

Jelajahi 4.000 Kilometer Rel Kereta Api di Jawa dan Sumatera

Negara Jepang punya kereta tercepat di dunia Shinkanzen. Namun, hal tersebut tidak mengurungkan Wakil Konsulat Jenderal Jepang di Surabaya Toshimichi Koga untuk mengagumi kereta api di Indonesia. Dia pun memutuskan untuk menulis buku tentang perkeretaapian Indonesia. 
Fatimatuz Zahroh
Wartawan Radar Surabaya
Koga memang sudah gandrung dengan kereta api sejak kecil. Setiap bertandang ke negara asing, pria 42 tahun ini pasti menyempatkan diri untuk mencicipi sarana angkutan umum kereta apinya. Tak terkecuali di Indonesia. Sejak empat tahun menetap di Indonesia dan dua tahun di Surabaya, Koga bahkan telah menjelajahi seluk beluk Indonesia dengan kereta api.
Koga juga memutuskan untuk menulis buku tentang perkeretaapian Indonesia. Sebuah buku bertajuk Indonesia Railway Trip, Ayo Berkelana Keliling Indonesia Naik Kereta Api, berhasil ia tulis dan diterbitkan di Jepang pada Juni 2014 lalu.
 “Jika ditanya kenapa suka kereta api, itu adalah pertanyaan yang sulit. Seperti halnya saat ditanya kenapa suka bakso, ya saya hanya sangat suka dengan kereta api,” tuturnya tertawa renyah.
Bagi Koga, Indonesia memiliki identitas perkeretaapian yang unik. Meski dari sisi teknologi, masih kalah dengan negara tetangga, namun justru memiliki potensi heritage dari segi engine kereta apinya. Pria asli Tokyo ini mencontohkan, bahkan di beberapa daerah di Indonesia masih menggunakan kereta uap jaman peninggalan Belanda. Seperti di daerah Jember, dimana para petani tebu kerap menggunakan kereta uap ini untuk mengangkut tebu ke pabrik gula.
“Tidak semua negara punya (kereta upan, Red) ini. Bahkan saya menyempatkan diri ke sana (Jember, Red) langsung di musim panen hanya untuk bisa melihat dan mengambil gambar kereta uap itu,” kata dia. Dalam buku setebal 300 halaman itu, dikatakan Koga 95 persen dari foto kereta yang dipakai adalah hasil jepretannya sendiri. Sedang sisanya ia cari di internet atau meminta di PT KAI.
Butuh dua tahun totalnya untuk Koga merampungkan buku pertamanya ini. Mulanya, Koga sama sekali tidak berniat merangkum perjalanannya menjelajah Indonesia ke dalam sebuah buku. Namun, karena ia selalu mencatat setiap perjalanannya sendiri, Koga jadi merasa sayang jika pengalamannya tersebut tidak disebarluaskan ke negara asalnya di negeri Sakura. Pasalnya, di Jepang, penghobi kereta seperti dirinya juga banyak
“Banyak warga Jepang yang setiap tahun datang ke Indonesia untuk melihat kereta di Indonesia. Khususnya melihat kereta asal Jepang yang dipakai di Indonesia. Seperti yang dipakai di Jabodetabek yang biasa dipakai masyarakat untuk berangkat bekerja (KRL, Red),” tutur pria kelahiran 4 Januari 1972 ini.
Untuk itu, dalam bukunya tersebut Koga mencoba memberi guiding bagi para pencinta kereta api di Jepang jika ingin menjajal jalur kereta api di Jawa dan Sumatera sejauh 4.000 kilometer yang sudah ia jelajahi seluruhnya. Koga juga menuliskan sejarah kereta api di Indonesia sejak 1867. Tidak hanya itu, sejumlah jalur kereta yang apik juga ia tuliskan. Seperti jalur kereta api di Jawa yaitu di Bandung yang memiliki track jembatan yang cukup tinggi. Juga jalur kereta api Banyuwangi yang melalui kawasan hutan lengkap dengan foto-foto kereta dan landscape-nya.
Satu hal yang ia catat tentang perkeretaapian di Indonedia. Menurut Koga, pengurus jasa kereta api belum cukup ramah bagi wisatawan asing. “Misalnya saja ketika saya ingin ke Klaten atau Solo, itu harus transit kemana saja itu tidak aad. Di jadwal kereta api hanya disebutkan asal dan tujuan dan juga jamnya pukul berapa. Sedangkan kereta berhenti di stasiun mana saja masih tidak ada,” ungkapnya.
Padahal, hal tersebut bisa jadi menjadi informasi yang sangat penting bagi para penumpang. Lebih-lebih yang dari mancanegara. Oleh sebab itu Koga pun sempat mencatat detil dalam setiap perjalanannya kereta yang ia tumpangi berhenti di stasiun mana saja dan ia tuangkan dalam bukunya. “Agar warga Jepang yang ingin mencoba kereta api Indonesia tidak bingung lagi. Dan semakin banyak warga Jepang yang ke Indonesia,” pungkasnya. (*/hen)
Mr Koga dengan puluhan koleksi majalah kereta apinya
Foto-Foto by Andy Satria
Fotografer Radar Surabaya