Kamis, Desember 25, 2014

Tahu Seragam Merk Purnama? Ini Dia Ownernya

^edisi khusus hari kemarin, kebetulan aku ditugaskan untuk meliput super mother Direktur UD Purnama, owner brand seragam sekolah Purnama yang sudah ada sejak tahun 1970. Dan beliau, emang benar super mother. Boleh ikutan baca deh..
Tulisan ini terbit di Radar Surabaya 22 Desember 2014, check this out readers..

Dwi Ermawati Owner Brand Seragam Purnama

Dwi Ermawati
Direktur Seragam Sekolah Merk Purnama

Belajar Bisnis dari Ibu

Keluarga dan anak selalu nomor satu. Itu semboyan Dwi Ermawati dalam bekerja dan berkeluarga. Kesibukannya sebagai pengusaha, tak pernah menyisihkan peran pengusaha konveksi khusus seragam sekolah ini sebagai seorang ibu. Tak berlebihan jika gelar super mother layak disampirkan pada wanita 34 tahun ini.

Kita yang mempunyai anak usia sekolah tentu tidak asing dengan produk seragam merk Purnama. Ya, brand satu itu memang sudah eksis sejak tahun 1970 an. Didirikan oleh pengusaha asal Kalimantan Barat, Jarman Bakri, perusahaan itu kini sudah menjadi produsen seragam sekolah terbesar di Indonesia.

Pasarnya sudah merambah seluruh wilayah Indonesia. Mulai Jawa, Bali, Kalimantan, Kupang, hingga Irian Jaya. Kini, roda bisnis keluarga itu ada di bawah kendali Erma. Ia adalah generasi ketiga, setelah ayahnya, yang menjalankan bisnis yang berpusat di Margomulyo tersebut.

“Kalau dibilang sibuk ya pasti sibuk, tapi pekerjaan sebagai seorang ibu adalah pekerjaan yang tidak bisa dialihkan pada orang lain. Kuncinya harus bisa menciptakan quality time dengan keluarga,” tutur wanita yang lahir di tanggal kabisat 29 Februari ini.

Wajar, sejak memutuskan untuk nyemplung total di perusahaan keluarganya tahun 2010 lalu, Erma memang harus benar-benar pandai membagi waktunya. Sebab, setiap hari, mulai pagi hingga sore ia harus memberikan fokus pikirannya untuk mengelola perusahaan yang setiap tahunnya mencetak sekitar 1 juta potong itu.

Awalnya memang cukup kelimpungan, tapi berkat proses belajar berdagang yang sudah ia mulai tahun 2002, Erma cukup bisa mengatasi pasang surutnya dunia bisnis. “Saya memegang bisnis keluarga ini tidak semerta-merta. Tapi mulai dari jaga toko di Pasar Turi sampai dengan saat ibu sudah tidak ada, maka baru itu saya benar-benar menggantikan posisi beliau,” kenang Erma. 

Erma bersama tiga anaknya. Aku ngefans sama Justin yang paling kecil. hehe
Diakuinya, saat mula bergelut mengurus perushaan, dirinya agak kesulitan membagi waktu dengan keluarga. Perhatiannya kerap terbagi-bagi, antara pekerjaan dan mengurus anak-anak. Tapi khusus dalam menciptakan quality time, Erma selalu bisa menyiasatinya.

Setiap malam, ia selalu mendampingi anak-anaknya belajar. Tak sampai di situ, ia juga selalu tidur dengan tiga anaknya dalam satu ranjang. Konon, itu ia lakukan untuk menebus waktu bersama anak-anaknya yang terpaksa hilang selama bekerja.

Bagaimana tidak, setiap harinya ia selalu berangkat ke kantor setiap pukul tujuh pagi dan pulang tepat pukul lima sore. Kadang, ketika ia pulang, anaknya belum pulang lantaran harus masuk les atau tambahan belajar.

“Nah waktu malam itu yang saya manfaatkan. Saat itulah, anak-anak suka cerita dia ngapain seharian dan menceritakan apa saja pengalamannya. Itu yang membuat kami selalu dekat,” tutur penggemar novel romance ini. Sesekali, ia juga menyempatkan untuk membacakan dongeng untuk putra-putrinya sembelum tidur.

Terlebih sebagai statusnya sebagai single parent sejak suaminya meninggal setahun lalu, Erma memang harus memberikan perhatian ekstra pada Danadyaksa Rifat Ramadhan, Sarah Belinda Silna Faradisa dan juga Mohammed Justin Kawakibi itu.

Selain menciptakan quality time bersama anak-anak, Erma menyebut bahwa ia kerap ketat dalam menjaga profesionalitas dalam bekerja. Saat bekerja, ia benar-benar tidak ingin diganggu oleh masalah keluarga, kecuali benar-benar pentiing dan mendesak. Begitu juga sebaliknya, saat jam kantor sudah selesai, ia juga tidak akan membawa urusan kantor ke dalam rumah.

“Meskipun kantornya hanya beberapa langkah dari rumah, saya tidak pernah mengijinkan anak-anak untuk kesana. Kalau ada mereka saya selalu tidak konsentrasi,” ucap wanita yang murah senyum ini dengan renyah.

Namun, prinsip itu pula yang ia terapkan di luar kantor. Setiap akhir pekan tiba, ia kerap memboyong tiga anaknya untuk pelesir ke tempat hiburan. Seperti piknik, atau sekedar ke taman hiburan di luar kota. Di  akhir pekan itulah, yang menjadi waktu untuknya mengabulkan keinginan buah hatinya.

Diakuinya, bekerja sebagai single parent dengan tiga anak yang masih butuh banyak perhatian ekstra, memang bukan hal yang mudah. Erma menyebutkan bahwa sebagai seorang ibu, memang dituntut untuk bisa melakukan hal yang berbeda dalam satu waktu yang sama. Yang konsekuensinya adalah semakin berkurang waktu bersama keluarga.
nyetting anaknya yang perempuan buat senyum susah banget. haha
Tapi meski begitu, ia bersyukur bahwa tiga buah hatinya adalah anak-anak yang pengertian. Mereka tergolong jarang protes dengan kesibukan sang bunda yang terbilang super padat itu. “Hampir semua urusan rumah tangga saya dibantu orang, tapi untuk urusan sekolah seperti ambil rapor dan belajar, anak-anak selalu maunya dengan saya. Bahkan, anak saya malah yang sering menagih untuk ditemani belajar,” ucapnya.

Lantaran tiga buah hatinya masih kecil-kecil Erma mengatakan tidak ada yang special yang ia rayakan jika hari ibu datang. Paling banter, ia mendapatkan kartu ucapan dari anak-anaknya yang biasanya ditugaskan dari sekolah. Tapi, hal itu tak menjadi masalah bagi Erma, yang penting, asal bisa mendampingi anak-anaknya, baginya sudah menjadi prestasi dan kebanggaan tersendiri.

Beda dengan dirinya, saat hari ibu tiba tentu saja saat sang bunda masih ada, Erma selalu memberikan perlakuan khusus bagi bundanya. “Saya temani ibu seharian, maunya apa, kepinginnya kemana saya turuti. Begitu juga saat ibu ulang tahun. Tapi kalau sekarang, mungkin karena anak-anak masih kecil, jadi belum begitu mengerti hari ya,” katanya.

Pada zaman yang serba modern seperti sekarang, Erma mengakui sudah banyak wanita yang memutuskan untuk bekerja daripada hanya diam di rumah dan hanya mengurus rumah tangga. Namun, tak jarang pula sekarang yang takut untuk turut membantu suami dalam mencari nafkah. Menurut Erma, setiap langkah yang diambil selalu diikuti dengan resiko yang harus dihadapi.

“Termasuk bagi ibu-ibu muda yang memutuskan untuk berkeluarga sambil bekerja. Yang jelas tentu akan merasa, loh.. tahu-tahu anak sudah besar saja. Tentu banyak momen-momen yang terlewatkan bersama anak, tapi kembali lagi bagaimana pintarnya kita me-manage waktu yang imbang antara kerja dan keluarga,” tuturnya.

Menurutnya, meski ibunya sibuk, nantinya anak juga akan sadar. Sebagaimana Erma kecil pun sering ditinggal kedua orang tuanya untuk bekerja menjalankan bisnis. Tapi Erma mengatakan bahwa yang namanya anak, rasa cinta pada orang tua adalah naluri yang tak akan bisa hilang ditelan kesibukan orang tua yang menggila.
single parent, inspiratif, dan wanita super
Erma pun ingin anak-anaknya kelak bisa menyadari apa yang dilakukannya semata-mata untuk anaknya. Pun begitu saat Erma kecil dan beranjak dewasa. Ia menjadi saksi hidup bagaimana jatuh bangun keluarganya mengembangkan bisnis seragam Purnama itu. Dari sanalah ia juga belajar hingga menjadi seperti sekarang.

“Saya pun memegang bisnis ini dengan learning by doing. Dari melihat bagaimana orang tua saya bekerja, saya juga sering ditinggal. Dan ternyata sekarang saya juga begitu. Tapi semua bisa bertahan berkat dukungan anak-anak dan lima saudara saya,” pungkasnya.(ima/rak)

Foto-foto by Andy Satria

Jumat, Desember 19, 2014

Holi-working-day at Singapore

Hello readers… siap menyapamu kembali. Kali ini aku akan sedikit cerita tentang perjalananku ke negeri singa beberapa waktu yang lalu. Kebetulan baru-baru ini aku ditugaskan untuk terbang ke Singapura untuk meliput satu konferensi internasional se-Asia, Association of Southeast Asian Institution of Higher Learning (ASSAIHL). Lebih tepatnya Asean plus Hongkong.

Sebenarnya yang konferensi internasionalnya cukup unik sih ya. Aku ditugaskan membuat tulisan tentang karya dosen Unversitas Narotama yang mengangkat permainan tradisional Gobak Sodor dan Bentengan untuk mengajar di kelas. Ada sekitar 200 peserta di konferensi itu. Cukup banyak juga peserta dari Indonesia. Seperti Unair, Unbraw, dan juga Unesa dan Perbanas. Tapi karena aku kesana sponsored by Narotama, jadilah aku menulis tentang dua dosen nyentrik ini.

Nama dosennya Rony Wardhana dan Immah Inayati. Jadi mereka menggunakan dua permainan tradisional itu dalam mata kuliah manajemen system control. Mahasiswanya dalam mengajar diumpamakan lagi main gobak sodor dan bentengan. Unik kan? Pembelajarannya, permainan itu digunakan untuk membuat strategi dalam mengatasi ekonomi dan bisnis dalam perushaan.
Nah tulisannya jadinya gini nih..

E3ditional Macos Universitas Narotama
Tapi ada yang lebih bikin aku seneng dalam berpetualang meliput di negeri yang sangat bersih itu.  Sebelum berangkat kesana, Pemredku menugaskan agar aku nggak hanya membuat tulisan tentang tentang konferensi itu saja. Melainkan juga membuat tulisan feature. Terserah membuat tulisan apa. Yang nemu disana, yang bisa diangkat jadi berita.

Sebelum berangkat aku sudah mulai cari ide. Apa ya yang bisa diangkat. Akhirnya aku memutuskan untuk menulis tentang pembatasan memiliki kendaraan pribadi di Singapura. Ide itu tercetus karena yang aku dengar di sana masyarakatnya dibatasi untuk punya mobil. Kabarnya karena ada pengaturan untuk system pajak dan pembelian mobil bahkan untuk mereka harus antri untuk punya mobil.

Aku sempat sharing dengan fotograferku yang juga ikut berangkat. Aku sharing untuk request foto. Dia sempat ngritik kenapa aku pake ngonsep sebelum berangkat, katanya lihat langsung aja di lapangan yang menarik apa, itu yang dijadikan angle. Tapi yaaaa gimana ya, karena terbiasa punya planning, aku nggak begitu suka dengan sesuatu yang ndadak. 

Apalagi kalau menggantungkan diri pada sesuatu yang nggak pasti. Yang punya plan aja kadang gagal, apa lagi enggak ada. Hehehe. Tapi mas satu ini asli baik kok dalam membantuku berkutat mikir angle. Walaupun akhirnya mbalik itu-itu lagi. Hehehe wajar, seniooor.

Akhirnya aku setengah isi setengah kosong saat mulai mendekati orang Singapura untuk wawancara. Aku menggiringnya untuk mau ngomong tentang pengurusan kepemilikan mobil. Dan saat disana aku cukup takjub ddengan mass transport  mereka yang menggunakan listrik. Bis saja mereka sudah bis listrik.

Aku sempet tahu karena sampai di sana dan melewati jalanan kota, bis itu punya charging poin di sebelah kanannya. Oh, berarti semua bis pakai listrik. Begitu juga dengan kereta listriknya. Nah akhirnya, aku sambungin ide tulisanku dengan pengamatan itu. Aku putuskan untuk menulis tentang system yang dibuat pemerintah untuk mendukung mass transport mereka. Salah satunya adalah pajak. Kebetulan pertengahan tahun ini, pemerintah Singapura baru saja menaikkan harga pajak kepemilikan kendaraannya.

Dan ini pentingnya melakukan riset sebelum wawancara. Ketika aku wawancara dengan orang Singapura itu aku jadinya nyambung. Entah walaupun tulisannya nggak sekenceng dan seratus persen sesuai dengan rencana awal, tapi paling nggak ide awal itu leading me into the right angle.

Dan taddaaaa tulisannya jadi besar di halaman tiga. Didukung dengan foto yang kece dari mas Abdullah Munir, tulisannya jadi keren nampang di halaman tiga Town Square. Terima kasih buat redakturku yang imut dan ganteng (bayar mas) mas Eko Yudhoyono yang meramu tulisanku jadi cantik. 
unyunya ada cap laporan dari Singapura. hehe
Itu data yang aku cantumin dapat dari riset dan juga dibantuin nyariin sama istrinya narasumber lhoo. Asli baik banget narasumberku satu itu. Tuhan yang balas deh ya. Terima kasih untuk Narotama dan big hug untuk Singapura dan juga Radar Surabaya.

Day 1 .. (to be continued)..

foto di tengah jalan
Selama empat hari di sana, kayak nggak lagi kerja. Kerja tapi rasa libur. That was holi-working-days.. Hehe.