Jumat, Desember 31, 2010

Dia yang Golput …. ?


Terinspirasi oleh sebuah pengalaman menjadi anggota tim KPPS PilPres dan PilRek.
Hari masih pagi saat saya dan salah seorang teman saya duduk berjaga meja registrasi di Distrik Jurusan TPS Pilrek. Karena merasa kurang adanya antusiasme pemilih membubuhkan suaranya di surat suara, maka saya berinisiatif untuk menggiring dengan sedikit rayuan agar setiap mahasiswa mau masuk ke bilik suara.
Seorang teman seangkatan kebetulan lewat, dan dengan sigap saya menyapanya. Mencoba menawari agar mau memilih –PILREK-  “Ayo milih dulu, belom milih kan? Tinggal nulis nama kok,” kata saya ramah.
“Nggak ah, saya nggak mau ikut-ikutan beginian,” jawabnya ketus dan datar. Saya mengerutkan kening. Padahal saya mengenal teman saya satu ini aktif di angkatan dan di Lembaga Dakwah Jurusan.
“Mahasiswa nggak boleh Golput,” kata saya menimpali. Dia membalikkan badan, dan meninggalkan saya tak acuh. RRRrrgh!
Tak lama berselang, ada yang lewat lagi. Kali ini kakak senior dan seorang akhwat.
“Ayo Mbak monggo milik Carek dulu,” tawar saya lagi.
“Waduh saya ada kuliah,” katanya menolak halus.
“Hallah Mbak cuman tiga menit aja lho,” rajukku. Tapi dia masih bergeming. “Y awes habis kuliah ya,”
“Nggak janji ya,” katanya sambil lalu. Dan benar saja sampai kuliah Mbak akhwat tersebut selesai dan TPS tutp, Mbak tadi tak kunjung datang.
 Sekarang yang ada di benak saya adalah Kenapa mereka harus memilih Golput?
Ada beberapa asumsi, pertama mereka kecewa dengan kepengurusan yang lalu yang tak kunjung membrikan perubahan yang mereka inginkan. Kedua, mungkin pemilih golongan putih itu tak merasa buat apa saya milih toh ya nggak ada pengaruhnya sama saya. Ketiga, dari pada milh salah mendingan nggak usah. Atau keempat sebuah doktrin haramnya politik, termasuk politik kampus.
Sebagai yang bukan penganut paham golput, saya hanya heran kenapa si Golput ini bisa terjebak dalam alasan2 seperti diatas –dengan asumsi alasan seperti begitu- Padahal jika perkara mereka tidak percaya dengan calon yang bertarung bisa menjadi lebih baik dari sebelumnya. Jawaban yang saya ingin ungkapkan adalah terlibatlah dalam perubahan yang ingin kamu bentuk. Kenali setiap calon, dan tentukan mana yang paling cocok dengan ideologi yang kamu pegang. Bukan sok-sok acuh tak mau tahu dan men-judge semua calon tidak berkualitas, lalu Golput.
Karena Golput adalah sebuah cara yang paling lemah yang bisa dilakukan seseorang. Saya pernah mendengar cerita, cerita religi. Jika kamu melihat orang berbuat salah, maka ingatkan dengan tindakan. Jika tidak mampu dengan lisan. Jika masih tidak mampu doakan saja agar dia cepat sadar.
Sama dengan kasus Golput yang ternyata juga menjangkit kalangan mahasiswa, ITS terutama. Di cerita di atas Golput adalah golongan yang terakhir.
Ketika kita merasa ada yang tidak beres dengan pemimpin kita, kita harus berani menggugat. Ketika kita merasa pemimpin kita sekarang sudah dirasa tiddak berkompeten dan tidak layak, maka kita harus menggantinya. Di saat kita di beri kesempatan untuk menentukan siapa The Next Pemimpin kita, Mengapa tidak kita manfaatkan momen ini dengan sebaik-baiknya.
Bukan hanya menuntut ketika Pemimpin melakukan kesalahan. Apa nggak malu, “Wes nggak milih, protes ae!!"

Rabu, Desember 29, 2010

Kau Harus Sembuh Ibu


Semuanya berubah. Suasana rumah, adik, ayah, kakak, semuanya berubah. Semuanya menjadi asing. Membuat, aku, mereka, dan kami beradaptasi dengan kondisimu. Ya, semuanya berubah. Sejak kau terbaring dan tak bisa bangun dari tidurmu sebulan lalu, Ibu.  Penyakit yang kini bersarang didirimu benar-benar membuat segalanya berubah.
Mungkin ini teguran keras dari yang Maha Hidup. Mengingatkan kami sekeluarga tentang arti kehadiran seorang ibu di tengah-tengah kami. Tepat sebulan yang lalu keluargaku dikagetkan oleh kondisi Ibu yang tiba-tiba tidak bisa bangun dari tempat tidurnya. Ada apa dengannya, kami pun tak tahu.


Sebuah perjalanan panjang membawa kami sampai di Mojosari, tempat Ibu dilarikan. Dari diagnose Dokter, akhirnya diketahui apa yang sebenarnya diderita Ibuku yang sangat aku dan semua keluargaku sayang itu.
Dari kecil, Ibuku memang sering sakit. Ada kelainan pada jantungnya. Klepnya bocor, begitu ibu biasa menjelaskan penyakitnya pada aku dan saudaraku. Kalau kambuh, aku bisa melihat dada ibuku bergetar hebat tak beraturan, nafasnya memburu dan berat.
Dalam setahun, penyakit Ibu bisa kambuh sampai dua kali. Ini membuat ibu ku tak pernah mempunyai tubuh yang bisa diilang gemuk. Berat badannya tak pernah lebih dari empat puluh kilogram, kurus.  
Berbeda dari sebelumnya, sekarang ibuku divonis mengalami penumbatan pembuluh darah di otak. Membuat organ tubuhnya sebelah kiri total tak bisa digerakkan. Atau yang lebih akrab di telinga penyakit ini biasa disebut stroke.
Ya, sudah sebulan ia hanya bisa berbaring, atau duduk sesekali. Tangan dan kakinya masih belum mengalami perubahan. Kami semua sedih itu pasti. Ayah, seorang yang aku yakin menjadi salah satu yang merasa terpukul. Semalam lagi-lagi aku melihatnya tak bisa tidur menunggui Ibu yang juga tak kunjung bisa memejamkan mata. Ia menemani Ibu dengan setia.
Kakakku, tak jarang menangis didepan ibu, terharu akan sakit yang diderita Ibu. Sedih melihat kondisi Ibu yang praktis tidak bisa apa-apa.
Aku pun begitu. Tapi entah kenapa aku tak pernah bisa  menangis atau mengaharu biru seperti ning (kakakku) ataupun ayah. Aku sedih, sangat sedih.  Aku yakin Ibu juga tahu aku sedih untuknya. Dan aku yakin ibu juga ahu aku bukan anak cengeng yang bisa meneangis didepan orang lain. Dan aku yakin Ibu tahu akau selalu menyebutnya dalam doa ku. Memeinnta kepada-Nya untuk kesembuhannya.
Ibu, semuanya berubah. Kapan kau bisa kembali seperti dulu? kembali membawa tawa disekeliling kami.  Kau harus sembuh, Ibu. Kami semua masih membutuhkanmu. Mungkin ini salah kami yang tak pernah memberi perhatian lebih padamu. Yang hanya meminta perhatianmu tanpa memberi satu yang sama padamu. Maafkan kami Ibu. Kau harus sembuh, Ibu. Agar kami dan aku bisa menebus dosa kami padamu.
Ibu, kau Harus Sembuh!

Kamis, Desember 09, 2010

Lagi-Lagi Aku Disana Dan Merasakannya

Bulu roma ku berdiri. Nafasku tercekat, tarikan nafas sejenak tertahan. Pandanganku mengabur oleh lapisan air di mataku. Lagi-lagi aku disini, diantara mereka. Wajah-wajah penuh kebahagiaan dan kebanggaan. Tapi bukan itu yang turut aku rasakan. Tapi justru ketakutan.

Sekali lagi aku berada dalam momen ini. Momen yang selalu terulang tiap dua tahun sekali. Momen yang sama namun berbeda. Karena aku hari ini berada langsung dalam ruang utama gedung itu. Bersatu dengan mereka yang bertoga.

Ya, lagi-lagi aku berada di prosesi wisuda. Momen yang dinantikan semua pejuang-pejuang ilmu, termasuk aku. Setelah sebelumnya aku hanya melihat mereka dari luar gedung, kini aku melihat sendiri didalamnya. Bahkan sampai aku merasa aku mengalaminya.

Semua begitu terasa hangat dan bahagia melihat wajah-wajah berseri di depanku. Mereka menebar senyum ke teman samping kanan kirinya. Berbagi cerita tentang rasa memakai toga yang panas, juga ulah unik menuliskan “Calon Orang Sukses Vivat ITS” di topi Toganya.

Sungguh satu perasaan yang bisa terucapkan dengan kata. Bagaimana jika aku sendiri yang mangalaminya. Akankah? Pasti. Kapan? Pasti sebentar lagi. Aku menjawab pertanyaan yang terlontar dari diriku sendiri.

Tak berhenti sampai disana. Aku mengangkat kepalaku dan melihat jajaran orang tua mahasiswa yang melihat dengan bangga anaknya menjabat tangan sang Tetua menerima ijazah bertuliskan Sarjana Teknik berpredikat Dengan Pujian atau bahkan Sangat Memuaskan.

Di sebuah sudut Grha tempatku berdiri, aku menangkap seorang Bapak berperawakan gagah memakai seragam angkatan Laut lengkap berdiri dengan tangan tersikap didada. Ada juga bapak-bapak berkacamata yang sudah lanjut usia. Juga Ibu-ibu yang tak lagi kuat berdiri, yang pasti sudah memoles wajahnya sejak tadi namun sedikit luntur. Wajahnya mereka sama-sama mengatakan “Itu anakku,”

Sama seperti yang kurasakan sejak aku pertama melihat orang-orang didepanku melepaskan predikat mahasiswanya. Aku tercenung. Akankah aku juga merasakannya kelak? Apakah kedua orang tuaku akan juga berdiri diatas tribun dan melihatku memakai toga, dengan Gordon dileher dan ijazah ditangan?

Apa aku akan juga mengalami berfoto ria dengan ayah ibuku, dua adikku dan kakakku? Apa aku akan mengalaminya? Apakah mereka -orang tuaku- mengalami seperti halnya para orang tua yang sedang aku tatap ini? Aku tak sabar, ingin segera semua itu terjadi.

Mau tak mau aku harus mengakui aku trauma. Aku takut apa yang menimpa saudaraku juga menimpaku. Aku tak mau. Tapi aku serasa sudah ada dalam area itu. Area ancaman yang berbahaya.

Orang Tak di Kenal dan Petuahnya
Bodoh. Mungkin itu yang akan kau katakan. Bodoh, kenapa takut dengan hal yang bahkan belum terjadi. tanpa terasa, bulir air mata itu akhirnya jatuh juga. Segera aku menghapusnya dan kembali focus untuk apa aku ada disini.

Aku keluar gedung untuk sejenak melepas kejengahan. Entah jalan Tuhan yang telah mengatur semua ini, aku terlibat obrolan ringan dengan salah seorang pengantar wisudawan. Seperti menjawab apa yang sedang berkemelut dalam pikiranku, ia memberi jawaban.

Awalnya ia bertanya, kapan wisudawan akan keluar gedung. Karena aku kebetulan tahu juklaknya, ya aku jawab saja jam 16.20. Lalu oborolan pun mengalir.
“Karena Mbak sudah menjawab pertanyaan saya, saya juga akan bawa oleh-oleh buat Mbak,” kata pria berkemeja rapi itu. Usianya kira-kira dua puluhan. Ia pekerja kantoran lulusan Teknik Informatika.

Ia mengomentari tentang penyambutan wisudawan yang disiapkan oleh tiap-tiap jurusan. Ia berkata, “Apa semua ini efisien?” katanya dengan nada biasa namun sarkatis. “Di dunia kerja, semua tak seperti yang kita dulu kira,” katanya melanjutkan.

Setelah aku gali, ternyata pria yang ternyata Hanif ini dulunya tidak pernah mengikuti kegiatan-kegiatan kemahaiswaan seperti ospek dan lain-lain. Ia seorang yang memegang kukuh ideologinnya.

Yang membuat aku tercenung adalah, “Yang harus mulai kita pegang adalah tiga Mbak,” katanya. Pertama, apa yang penting sekarang. Kedua Siapa yang penting sekarang. Dan Untuk apa yang ada pentingkan sekarang. “Semua harus efisien. Tapi tidak perlu dipikirkan sekarang. Jangan dianalisa, nanti juga mengerti sendiri,”
“Jangan takut melihat masa depan Mbak, Jalani saja apa adanya. Tapi bukan bererti pasrah,” katanya seperti membaca pikiranku.