Rabu, Februari 01, 2012

Sebuah Senyuman


Tiba-tiba ingatanku melayang ke satu peristiwa beberapa minggu lalu. Saat aku berkunjung ke rumah penjaga rumahku. Dia sedang sakit waktu itu, makanya aku ke rumahnya untuk menjenguk sekaligus memastikan apakah dia baik-baik saja. Karena menurut kabar dia baru saja terserempet motor.

Rumahnya sekitar Sembilan kilometer dari rumahku. Jauh? Iya. Susah pula nyarinya.

Kesan pertama saat aku sampai di kediamannya adalah menyesal. Ya. Tentang banyak hal. Tentang semua prasangka burukku, soal marahku kenapa dia yang sudah berhari-hari tidak masuk kerja dan tidak memberi kabar. Juga pikiranku untuk memberhentikannya saja!

Semua itu raib seketika aku mekihat keadaan keluarganya, yang yaah mengharukan. Mbak Ambar, nama si mbakku itu, dia janda muda. Usianya baru 35 an. Anaknya satu dan usianya seusia adikku yang terakhir, masih SD. Saat aku disana, aku segera di sambut ramah oleh ibu, ayah, dan juga Andik, nama putra mbak ambar.  Syukurlah, hanya kaki mbak ambar luka. Tapi luka itu sukses menyisakan enam jahitan di jari kelingking kaki kanannya.

Aku tak henti2 nya merutuk prasangkaku selama ini. Aku hanya nggak habis fikir, sebeginikah 
keadaan mbak ambar dan keluarganya. Dalam bangunan sekecil ini dihuni berbanyak ini, dan mirisnya aku tau hanya mbak ambar sebagai tulang punggung pengepul dapur.

Mirisku bertambah ketika si Andik menyapa ku dengan senyumnya yang khas anak kecil

“Nggak ndelok bantengan, ning Ima? (nggak liat bantengan ning ima?)”, katanya riang. Lalu dia bercerita juga kalau semalaman ini bakal ada pencak silat bantengan. Dia ngajak aku soalnya tau adek ku suka nonton bantengan juga.

Senyum itu. Riang sekali. Sumpah aku merasa tersindir.

Kita hanya perlu melihat ke bawah sedikit saja untuk bisa menyadari betapa sombongnya kita.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar