Tampilkan postingan dengan label LKMM TL. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label LKMM TL. Tampilkan semua postingan

Minggu, Juni 17, 2012

Managemen Wacana Publik (2)

lanjutan dari judul sebelumnya... :)
 
Nah, lalu apa tugas kami kesana? Yup, sesuai dengan materi pokok pelatihan yang tak lain adalah managemen wacana public, maka kami kesana ditugaskan untuk melakukan analisa sosial terhadap kondisi yang ada di pengolahan murbeinya Pak Slamet ini. Kami diwajibkan untuk mencari data sebanyak-banyaknya di lokasi kemudian menganaslisa untuk kemudian mengeluarkan wacana publik.

Memangnya wacana publik itu seperti apa? Sekalian coba aku jelasin yaa,, wacana publik adalah sebuah wacana yang dilemparkan kepada publik setelah melewati analisis dan diagnosis sosial. Tidak hanya sebuah wacana yang berbentuk tulisan. Melainkan sebuah action. Dari case Pak Slamet tadi, mulai kita rumuskan  permasalahannya.

Langkah pertama adalah menentukan Instrument Frank Stillwell –nya, yang memuat lima pertanyaan dasar, yaitu
-    Apa yang sedang terjadi?
-    Mengapa hal itu terjadi?
-    Siapa yang diuntungkan/dirugikan dalam permasalahan tersebut?
-    Apa itu dianggap masalah?
-    Jika iya, bagaimana cara mengatasinya, dan siapa yang harus melakukannya?

Setelah persoalan Pak Slamet tersebut dihubungkan dengan lima instrumenn di atas, maka mulai disusun wacananya. Jadi yang terjadi di  kasus pak slamet di atad adalah industry kecil pengolahan murbei yang prospektif, namun masih banyak menemui kendala dari mekanisme produksinya, managemen pemasaran dan juga analisis social bahwa masyarakat di sekitarnya tidak banyak memebantu dan care terhadap industry tersebut, padahal jika usaha ini dikeloola dengan baik maka akan dapat menigkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar.

Lalu wacana apa yang kami lontarkan?? Ada sebuah isu (wacana) yang kami rumuskan, yaitu membuat murbei sebagai komoditas khas Tretes, sekaligus nantinya akan dijadikan brand Tretes. Seperti yang diketahui, Tretes selama ini hanya terkenal dengan wisata pegunungannya, bumi perkemahan, wisata kuda, dan perhotelan. Namun, untuk komoditas khasnya Tretes belum mempunyai branding. Ada sih, pisang di pasar buah Tretes yang katanya khas Tretes, tapi juga itu banyak dijumpai di daerah lain. Oleh karena itu, kami mencoba membuat waacana Murbei sebagai new-brand Tretes.

So? Gimana caranya? Nggak mudah ternyata. Wacana yang kita buat harus strategis dan di management secara sistematis. Sebagaimana dijelaskan ssaat materi, bahwa wacana merupakan sistem swabina, atau bisa membina dirinya sendiri. Meskipun begitu, wacana harus dihidupkan sebagimana rupa agar wacana yang kita lontarkan tidak hilang begitu saja. 

Ada beberapa langkah dalam management wacana publik. Yaitu
-    Merumuskan struktur wacana
-    Menentukan kelompok sasaran
-    Analisis kelompok sasaran
-    Menentukan media sosialisasi
-    Membuat jadwal sosialisasi

Wacana yang akan kami buat adalah membuat murbei sebagai branding Tretes. Harapannya sih biar nggak kalah sama Batu si kota apel. Akan tetapi tetep perlu strategi untuk mewujudkannya. Wacan yang kita lempar pun nggak langsung menembak –brand- tadi. Melainkan pelemparan wacana di bagi menjadi tiga. Yaitu wacana inti, wacana tandingan, dan wacana pendukung.

Serupa management konflik lah, dalam wacana juga punya. Yang namanya waca tandingan ini nih yang di sebut managemen konfliknya.  Dalam kasus si murbei ini, goal nya adalah murbei sebagai brand Tretes. Nah wacana yang kita  lempar adalah pemanfaatan murbei sebagai usaha kecil menengah dengan menonjolkan si Slamet agar usahanya dikembangkan. Baik dengan bantuan masyarakat sekitar, maupun dinas2 terkait. Bagaiamana dengan kelompok sasaran? Kelompok sasaran yang kami bidik adalah masyarakat di sekitar rumah Pak Slamet. Khususnya ibu2 agar mau mengembangkan usaha manisan dan teh daun murbei. Kemudian perangkat desa agar mereka mau berpartisipasi dalam menyediakan lahan atau mengkoordinasikan warganya untuk menanam murbei. Tak hanya itu, kalanagan pemuda, pelajar pun kami bidik dan datangi guna sosialisasi usaha murbei ini.

Setelah semua kelompok sasaran terbidik sudah mendapat sosialisasi untuk menanam dan mengembangkan murbei, maka saatnya untuk melempar yang namanya wacana tandingan. Yaitu wacana yang sama sekali menentang wacana inti kita. Wacana ini secara terencana kita lemparkan. Kalau dalam kasus ini, wacana tandingannya adalah penamanan pohon pisang massal di Tretes. Karena apa, masyarakat cenderung yakin kalau pisang adalah produk khas Tretes yang banyak di cari oleh wisatawan yang datang ke Tretes.

Nah kalau sudah dilempar, dan masyarakat ter-persuasive dengan wacana tandingan kita, maka langkah selanjutnya adalah melemparkan wacana pendukung. Yaitu wacana penanaman murbei sebagai komoditas prospektiv yang juga memiliki khasiat mujarab sebagai obat. Yakni obat diabetes, asam urat, dan lain lain.

Di sini kami, kita, bukan sebagai pelaku. Melainkan para kelompok sasaran yang telah kita rumuskan di awallah yang menjadi pelaku utama. Kita di sini hanya sebagai  pelecut wacana untuk memprovokasi pihak-pihak terkait melakukan sesutau yangkita tujukan –inginkan-

Nah itulah mengapa di atas disebutkan, orang yang tahu ilmu ini itu ‘berbahaya’. Dan orang yang melakukan pewacanaan akan lenyap begitu saja. bukan namanya yang  melejit, tapi ide dan wacananya yang membumbung tinggi. So, tinggal pinter-pinternya kita saja  mau memanfaatkan ilmu ini dijalan yang baik atau buruk.
 

semoga bermanfaat :D

Managemen Wacan Publik (1): Pengolahan Murbei

Sebagai simulasi all materi di LKMM TL, semua peserta LKMM TL dibagi menjadi lima kelompok untuk mengunjungi suatu tempat untuk kuliah lapangan. Ada yang di komunitas ojek kuda, komunitas ojek motor, pasar buah, batik dan satu lagi ke pengolahan murbei. Nah, kelompokku, bersama si Selly, Fauzan, Firiyal, Sita, dan Agus dapet kebagian kunjungan ke pengolahan murbei. 

Dalam bayanganku, sebelum berangkat adlah kami akan berkunjunga ke sebuah pabrik atau industri rumah tangga yang menjalankan pengolahan murbei. Tapi,, ternyata kami salah besar. Kami di bawa ke sebuah rumah villa PTPN Pabrik gula dan menemui satu orang, bernama Slamet Supriyadi.

Slamet adalah penduduk setempat yang punya usaha pengolahan murbei. Awalnya sih enggak. Sudah sekitar 23 tahun beliau menjaga villanya PTPN 10 ini. Nah di sekitar villa itu ada lumayan luas lahan kosong yang ada tanaman liar murbei. Setiap dua kali dalam setahun, si pohon ini berbuah dan selalu rontok begitu saja dan bikin kotor. Slamet tak pernah mau diam melihat keadaan itu. Ia coba memutar otak mencari ide gimana si buah anggur kecil iini bisa dimanfaatkan. Akhirnya sejak delapan tahun yang lalu, ia memulai usahanya. Dengan membuat sari murbei yang ia kemas dalam botol (kratingdeng). Sempat laku. Tapi terhenti gara2 biaya produksinya sangat mahal, karena harus membeli botol daur ulang yang susah pengadaannya. Dan kondisi tersebut membuat usahanya mandeg agak lama.

Ia kembali memutar otak. Slamet lalu mencoba mengolah si murbei menjadi es lilin murbei dan ia jual ke sekolah2 SD di sekitar rumahnya. Dan Alhamdulillah laku… . Nggak hanya es lilin, tapi juga sirup murbei, dan belakangan ia juga memanfaatkan si daun murbei untuk teh murbei. Untuk yang teh murbei, ia coba menjual ke masyarakat sekitar, namun nggak dapet respon bagus. Nggak mau kalah dia lalu menjualnya ke luar kota lewat kenlannya. Dan Alhamdulillah pasar meresponnya dengan positive. Sudah dua kali ini, distributor dari Surabaya mengambil barang ke rumahnya, dan sebentar lagi sudah untuk yang kali ketiga. Mau tau omset Slamet setiap bulannya??

Untuk penjualan es lilinnya saja, dengan harga jual Rp 500 per biji, sebulan dia bisa mendapat uang Rp. 900 ribu. Belum lagi si sirup yang bisa dia produksi 20 botol sebulan dengan harga Rp 7500 per botol, jadi sebulan dapet sekitar Rp 300 ribu. Dan si teh daun murbei yang sebuan bsa dapet Rp 600 ribu.

Dengan memanfaatkan pohon liar gitu aja dia udah bisa dapet penghasilan setingkat UMR. Namun ada beberapa kendala nih yang dialami sama Slamet. Pria yang sudah berkeluarga dan punya tiga orang ini kekurangan bahan baku. Dengan diversifikasi produk segitu banyak dan hanya mengandalkan pohon liar yang ada di halan villa saja tentu saja tidak cukup. Akhirnya Slamet menanam pohon murbei lagi secra liar juga di beberapa tempat sembari numpang ke lahan orang hingga mencapai 100 pohon. Namun, jumlah pohon yang sebegitu banyak ternyata belum cukup memenuhi permentaan produksinya. Terutama untuk si sari buah, dan juga es lilin, seta sirup yang membutuhkan banyak buah murbei. Belum lagi 100 pohon tadi pun terpencar-pencar tidak karuan. Hal ini menghambat produksi Slamet.

(lanjut ke postingan berikutnya...:))