Kamis, Desember 09, 2010

Lagi-Lagi Aku Disana Dan Merasakannya

Bulu roma ku berdiri. Nafasku tercekat, tarikan nafas sejenak tertahan. Pandanganku mengabur oleh lapisan air di mataku. Lagi-lagi aku disini, diantara mereka. Wajah-wajah penuh kebahagiaan dan kebanggaan. Tapi bukan itu yang turut aku rasakan. Tapi justru ketakutan.

Sekali lagi aku berada dalam momen ini. Momen yang selalu terulang tiap dua tahun sekali. Momen yang sama namun berbeda. Karena aku hari ini berada langsung dalam ruang utama gedung itu. Bersatu dengan mereka yang bertoga.

Ya, lagi-lagi aku berada di prosesi wisuda. Momen yang dinantikan semua pejuang-pejuang ilmu, termasuk aku. Setelah sebelumnya aku hanya melihat mereka dari luar gedung, kini aku melihat sendiri didalamnya. Bahkan sampai aku merasa aku mengalaminya.

Semua begitu terasa hangat dan bahagia melihat wajah-wajah berseri di depanku. Mereka menebar senyum ke teman samping kanan kirinya. Berbagi cerita tentang rasa memakai toga yang panas, juga ulah unik menuliskan “Calon Orang Sukses Vivat ITS” di topi Toganya.

Sungguh satu perasaan yang bisa terucapkan dengan kata. Bagaimana jika aku sendiri yang mangalaminya. Akankah? Pasti. Kapan? Pasti sebentar lagi. Aku menjawab pertanyaan yang terlontar dari diriku sendiri.

Tak berhenti sampai disana. Aku mengangkat kepalaku dan melihat jajaran orang tua mahasiswa yang melihat dengan bangga anaknya menjabat tangan sang Tetua menerima ijazah bertuliskan Sarjana Teknik berpredikat Dengan Pujian atau bahkan Sangat Memuaskan.

Di sebuah sudut Grha tempatku berdiri, aku menangkap seorang Bapak berperawakan gagah memakai seragam angkatan Laut lengkap berdiri dengan tangan tersikap didada. Ada juga bapak-bapak berkacamata yang sudah lanjut usia. Juga Ibu-ibu yang tak lagi kuat berdiri, yang pasti sudah memoles wajahnya sejak tadi namun sedikit luntur. Wajahnya mereka sama-sama mengatakan “Itu anakku,”

Sama seperti yang kurasakan sejak aku pertama melihat orang-orang didepanku melepaskan predikat mahasiswanya. Aku tercenung. Akankah aku juga merasakannya kelak? Apakah kedua orang tuaku akan juga berdiri diatas tribun dan melihatku memakai toga, dengan Gordon dileher dan ijazah ditangan?

Apa aku akan juga mengalami berfoto ria dengan ayah ibuku, dua adikku dan kakakku? Apa aku akan mengalaminya? Apakah mereka -orang tuaku- mengalami seperti halnya para orang tua yang sedang aku tatap ini? Aku tak sabar, ingin segera semua itu terjadi.

Mau tak mau aku harus mengakui aku trauma. Aku takut apa yang menimpa saudaraku juga menimpaku. Aku tak mau. Tapi aku serasa sudah ada dalam area itu. Area ancaman yang berbahaya.

Orang Tak di Kenal dan Petuahnya
Bodoh. Mungkin itu yang akan kau katakan. Bodoh, kenapa takut dengan hal yang bahkan belum terjadi. tanpa terasa, bulir air mata itu akhirnya jatuh juga. Segera aku menghapusnya dan kembali focus untuk apa aku ada disini.

Aku keluar gedung untuk sejenak melepas kejengahan. Entah jalan Tuhan yang telah mengatur semua ini, aku terlibat obrolan ringan dengan salah seorang pengantar wisudawan. Seperti menjawab apa yang sedang berkemelut dalam pikiranku, ia memberi jawaban.

Awalnya ia bertanya, kapan wisudawan akan keluar gedung. Karena aku kebetulan tahu juklaknya, ya aku jawab saja jam 16.20. Lalu oborolan pun mengalir.
“Karena Mbak sudah menjawab pertanyaan saya, saya juga akan bawa oleh-oleh buat Mbak,” kata pria berkemeja rapi itu. Usianya kira-kira dua puluhan. Ia pekerja kantoran lulusan Teknik Informatika.

Ia mengomentari tentang penyambutan wisudawan yang disiapkan oleh tiap-tiap jurusan. Ia berkata, “Apa semua ini efisien?” katanya dengan nada biasa namun sarkatis. “Di dunia kerja, semua tak seperti yang kita dulu kira,” katanya melanjutkan.

Setelah aku gali, ternyata pria yang ternyata Hanif ini dulunya tidak pernah mengikuti kegiatan-kegiatan kemahaiswaan seperti ospek dan lain-lain. Ia seorang yang memegang kukuh ideologinnya.

Yang membuat aku tercenung adalah, “Yang harus mulai kita pegang adalah tiga Mbak,” katanya. Pertama, apa yang penting sekarang. Kedua Siapa yang penting sekarang. Dan Untuk apa yang ada pentingkan sekarang. “Semua harus efisien. Tapi tidak perlu dipikirkan sekarang. Jangan dianalisa, nanti juga mengerti sendiri,”
“Jangan takut melihat masa depan Mbak, Jalani saja apa adanya. Tapi bukan bererti pasrah,” katanya seperti membaca pikiranku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar