Terinspirasi oleh sebuah pengalaman menjadi anggota tim KPPS PilPres dan PilRek.
Hari masih pagi saat saya dan salah seorang teman saya duduk berjaga meja registrasi di Distrik Jurusan TPS Pilrek. Karena merasa kurang adanya antusiasme pemilih membubuhkan suaranya di surat suara, maka saya berinisiatif untuk menggiring dengan sedikit rayuan agar setiap mahasiswa mau masuk ke bilik suara.
Seorang teman seangkatan kebetulan lewat, dan dengan sigap saya menyapanya. Mencoba menawari agar mau memilih –PILREK- “Ayo milih dulu, belom milih kan? Tinggal nulis nama kok,” kata saya ramah.
“Nggak ah, saya nggak mau ikut-ikutan beginian,” jawabnya ketus dan datar. Saya mengerutkan kening. Padahal saya mengenal teman saya satu ini aktif di angkatan dan di Lembaga Dakwah Jurusan.
“Mahasiswa nggak boleh Golput,” kata saya menimpali. Dia membalikkan badan, dan meninggalkan saya tak acuh. RRRrrgh!
Tak lama berselang, ada yang lewat lagi. Kali ini kakak senior dan seorang akhwat.
“Ayo Mbak monggo milik Carek dulu,” tawar saya lagi.
“Waduh saya ada kuliah,” katanya menolak halus.
“Hallah Mbak cuman tiga menit aja lho,” rajukku. Tapi dia masih bergeming. “Y awes habis kuliah ya,”
“Nggak janji ya,” katanya sambil lalu. Dan benar saja sampai kuliah Mbak akhwat tersebut selesai dan TPS tutp, Mbak tadi tak kunjung datang.
Sekarang yang ada di benak saya adalah Kenapa mereka harus memilih Golput?
Ada beberapa asumsi, pertama mereka kecewa dengan kepengurusan yang lalu yang tak kunjung membrikan perubahan yang mereka inginkan. Kedua, mungkin pemilih golongan putih itu tak merasa buat apa saya milih toh ya nggak ada pengaruhnya sama saya. Ketiga, dari pada milh salah mendingan nggak usah. Atau keempat sebuah doktrin haramnya politik, termasuk politik kampus.
Sebagai yang bukan penganut paham golput, saya hanya heran kenapa si Golput ini bisa terjebak dalam alasan2 seperti diatas –dengan asumsi alasan seperti begitu- Padahal jika perkara mereka tidak percaya dengan calon yang bertarung bisa menjadi lebih baik dari sebelumnya. Jawaban yang saya ingin ungkapkan adalah terlibatlah dalam perubahan yang ingin kamu bentuk. Kenali setiap calon, dan tentukan mana yang paling cocok dengan ideologi yang kamu pegang. Bukan sok-sok acuh tak mau tahu dan men-judge semua calon tidak berkualitas, lalu Golput.
Karena Golput adalah sebuah cara yang paling lemah yang bisa dilakukan seseorang. Saya pernah mendengar cerita, cerita religi. Jika kamu melihat orang berbuat salah, maka ingatkan dengan tindakan. Jika tidak mampu dengan lisan. Jika masih tidak mampu doakan saja agar dia cepat sadar.
Sama dengan kasus Golput yang ternyata juga menjangkit kalangan mahasiswa, ITS terutama. Di cerita di atas Golput adalah golongan yang terakhir.
Ketika kita merasa ada yang tidak beres dengan pemimpin kita, kita harus berani menggugat. Ketika kita merasa pemimpin kita sekarang sudah dirasa tiddak berkompeten dan tidak layak, maka kita harus menggantinya. Di saat kita di beri kesempatan untuk menentukan siapa The Next Pemimpin kita, Mengapa tidak kita manfaatkan momen ini dengan sebaik-baiknya.
Bukan hanya menuntut ketika Pemimpin melakukan kesalahan. Apa nggak malu, “Wes nggak milih, protes ae!!"