Mahasiswa ITS Rancang "Game Pertempuran 10 November"
04 Oktober 2010 08:51:40
Surabaya (ANTARA News) - Mahasiswa ITS Surabaya telah merancang "game" edukasi berlabel P10NER (Pertempuran 10 November) untuk menyemarakkan "Pagelaran Mahasiswa Teknologi Informasi dan Komunikasi" (GeMasTIK) 2010 di Surabaya pada 5-6 Oktober.
http://antaranews.com/berita/1286064290/mahasiswa-its-rancang-game-pertempuran-10-november - "Nama kampusnya saja Sepuluh Nopember, masak mahasiswanya tidak tahu sejarah namanya sendiri, karena itu kami pun merancang game saat liburan," kata mahasiswa Teknik Informatika ITS Felix Handani di Surabaya, Minggu.
Felix merupakan "Project Manager" P10NER yang berkapasitas satu "gigabyte" itu bersama tujuh rekannya, di antaranya Moh Mahrus Syamsur Rizal, Nurina Aisyah, Ratri Cahyarini, Yustiana, Hermawan Winata, dan Dian Rahma.
"Itulah situasi di Hotel Yamoto," kata salah seorang mahasiswa dalam suara yang terdengar dalam `game` itu ketika hendak memulai pertempuran seorang pahlawan Surabaya menumpas penjajah 1945.
Peristiwa di Hotel Yamato itu akhirnya mencapai puncak dengan terjadinya perobekan berdera merah putih biru, kemudian pertempuran di Jembatan Merah, sampai pertempuran 10 November yang menewaskan Brigjen AWS Mallaby.
Tidak hanya bermain, empat level dalam P10NER juga diselingi video-video perjuangan dan pertemburan yang terjadi di Surabaya dan Indonesia.
"Jadi, pengguna game edukasi itu akan mendapat hiburan, sekaligus mendapat pelajaran sejarah dengan cara yang menyenangkan," katanya.
Ia mengatakan "game" P10NER itu dirancang dalam waktu sekitar 2,5 bulan dengan menggunakan program bernama "FPS (First Person Shotting) Creator."
"Dengan program itu, pembuat game tidak perlu memulai dari nol. Semua rancangan bangunan tiga dimensi, tokoh dan senjata sudah ada dalam `software` itu. Tinggal memasukkan alur cerita, lalu drug and drop saja," katanya.
Menanggapi hal itu, dosen pembimbing mereka, Imam Kuswardayan SKom, berharap permainan "tembak-tembakan" karya mahasiswanya bisa dikenal masyarakat luas.
"Rencananya akan dipasarkan, tapi mungkin masih diperlukan tambahan di sana-sini. Semoga, P10NER bisa menjadi pelogpor game edukasi di Indonesia," katanya.
Ia menambahkan permainan P10NER akan dipamerkan dan dilombakan pada ajang GeMasTIK 2010 guna meramaikan kompetisi mahasiswa informatika se-Indonesia yang dijadwalkan berlangsung di Gedung Robotika ITS itu.(*)
(ANT/R009)
Selasa, Oktober 05, 2010
Senin, Oktober 04, 2010
Ternyata Allah Sayang Padaku
Sejenak aku terpekur melihat bayangan diriku didepan cermin. Berdiri dengan tubuh lengkap sempurna yang tak kurang barang apapun. Bahkan lengkap dengan balutan jilbab menutupi kepalaku. Member nilai tambah pada diriku yang kunilai sendiri.
Aku tercenung. Mengapa? Karena jilbab yang kukenakan saat ini adalah sesuatu yang istimewa. Yang tak banyak orang punya dan kenakan. Istimewa karena aku tahu apa istimewa dari serenade ini. Aku tahu keistimewaan gadis berjijbab.
Kembali aku teringat masa-masa yang kuanggap kelam tiga tahun yang lalu. Ketika aku –dengan keterpaksaan- masuk dalam lingkup pesantren dan menjadi bagian darinya. Tempat dimana aku dicekoki berbagai macam kajian-kajian yang aku pikir, apa sih ini..?!
Lagi-lagi aku terbawa ke masa itu. Masa dimana aku memberontak pada semua peraturan yang ada. Dilarang keluar pondok setelah adzan magrib. Tidak boleh keluar tanpa jilbab yang menutup sampai lengan, dan tidak boleh meniadakan jarak antara akhwat dan ikhwan. Aku berontak.
Tapi kini, aku tercenung. Aku baru menyadari betapa Allah menyayangiku. Betapa Dzat itu begitu sayang padaku sehingga member amanah pengalaman itu sehingga aku mengalaminya secara langsung. Aku sadar Sang Maha yang bergumul halus di lubug sukmaku itu membisikkan lantunan-lantunan yang selalu membimbingku, mengingatkanku, dan mendampingiku.
Jilbab yang kukenakan adalah symbol perwujudan penjagaanNya kepadaku. Dari pengaruh-pengaruh luar yang banyak merintangiku. Aku mengerti akhirnya seorang wanita dengan jilbab adalah suatu keindahan dan ketentraman saat orang lain emlihatnya.
Aku bangga menjadi wanita berjilbab. Aku bangga pernah sejenak menjadi santri. Aku bangga menyadari apa rahasia Allah memberi semua ini padaku..
Wanita dengan jilbab addlah keindahan..
Wannita dengan jilbab adalah keanggunan..
Wanita dengan jilbab adalah kekuatan..
Dan Wanita dengan jilbab adalah kepribadian..
Surabaya, 22 Juli 2010
11:39
Aku tercenung. Mengapa? Karena jilbab yang kukenakan saat ini adalah sesuatu yang istimewa. Yang tak banyak orang punya dan kenakan. Istimewa karena aku tahu apa istimewa dari serenade ini. Aku tahu keistimewaan gadis berjijbab.
Kembali aku teringat masa-masa yang kuanggap kelam tiga tahun yang lalu. Ketika aku –dengan keterpaksaan- masuk dalam lingkup pesantren dan menjadi bagian darinya. Tempat dimana aku dicekoki berbagai macam kajian-kajian yang aku pikir, apa sih ini..?!
Lagi-lagi aku terbawa ke masa itu. Masa dimana aku memberontak pada semua peraturan yang ada. Dilarang keluar pondok setelah adzan magrib. Tidak boleh keluar tanpa jilbab yang menutup sampai lengan, dan tidak boleh meniadakan jarak antara akhwat dan ikhwan. Aku berontak.
Tapi kini, aku tercenung. Aku baru menyadari betapa Allah menyayangiku. Betapa Dzat itu begitu sayang padaku sehingga member amanah pengalaman itu sehingga aku mengalaminya secara langsung. Aku sadar Sang Maha yang bergumul halus di lubug sukmaku itu membisikkan lantunan-lantunan yang selalu membimbingku, mengingatkanku, dan mendampingiku.
Jilbab yang kukenakan adalah symbol perwujudan penjagaanNya kepadaku. Dari pengaruh-pengaruh luar yang banyak merintangiku. Aku mengerti akhirnya seorang wanita dengan jilbab adalah suatu keindahan dan ketentraman saat orang lain emlihatnya.
Aku bangga menjadi wanita berjilbab. Aku bangga pernah sejenak menjadi santri. Aku bangga menyadari apa rahasia Allah memberi semua ini padaku..
Wanita dengan jilbab addlah keindahan..
Wannita dengan jilbab adalah keanggunan..
Wanita dengan jilbab adalah kekuatan..
Dan Wanita dengan jilbab adalah kepribadian..
Surabaya, 22 Juli 2010
11:39
Lagi-Lagi Aku Disana Dan Merasakannya
Bulu roma ku berdiri. Nafasku tercekat, tarikan nafas sejenak tertahan. Pandanganku mengabur oleh lapisan air di mataku. Lagi-lagi aku disini, diantara mereka. Wajah-wajah penuh kebahagiaan dan kebanggaan. Tapi bukan itu yang turut aku rasakan. Tapi justru ketakutan.
Sekali lagi aku berada dalam momen ini. Momen yang selalu terulang tiap dua tahun sekali. Momen yang sama namun berbeda. Karena aku hari ini berada langsung dalam ruang utama gedung itu. Bersatu dengan mereka yang bertoga.
Ya, lagi-lagi aku berada di prosesi wisuda. Momen yang dinantikan semua pejuang-pejuang ilmu, termasuk aku. Setelah sebelumnya aku hanya melihat mereka dari luar gedung, kini aku melihat sendiri didalamnya. Bahkan sampai aku merasa aku mengalaminya.
Semua begitu terasa hangat dan bahagia melihat wajah-wajah berseri di depanku. Mereka menebar senyum ke teman samping kanan kirinya. Berbagi cerita tentang rasa memakai toga yang panas, juga ulah unik menuliskan “Calon Orang Sukses Vivat ITS” di topi Toganya.
Sungguh satu perasaan yang bisa terucapkan dengan kata. Bagaimana jika aku sendiri yang mangalaminya. Akankah? Pasti. Kapan? Pasti sebentar lagi. Aku menjawab pertanyaan yang terlontar dari diriku sendiri.
Tak berhenti sampai disana. Aku mengangkat kepalaku dan melihat jajaran orang tua mahasiswa yang melihat dengan bangga anaknya menjabat tangan sang Tetua menerima ijazah bertuliskan Sarjana Teknik berpredikat Dengan Pujian atau bahkan Sangat Memuaskan.
Di sebuah sudut Grha tempatku berdiri, aku menangkap seorang Bapak berperawakan gagah memakai seragam angkatan Laut lengkap berdiri dengan tangan tersikap didada. Ada juga bapak-bapak berkacamata yang sudah lanjut usia. Juga Ibu-ibu yang tak lagi kuat berdiri, yang pasti sudah memoles wajahnya sejak tadi namun sedikit luntur. Wajahnya mereka sama-sama mengatakan “Itu anakku,”
Sama seperti yang kurasakan sejak aku pertama melihat orang-orang didepanku melepaskan predikat mahasiswanya. Aku tercenung. Akankah aku juga merasakannya kelak? Apakah kedua orang tuaku akan juga berdiri diatas tribun dan melihatku memakai toga, dengan Gordon dileher dan ijazah ditangan?
Apa aku akan juga mengalami berfoto ria dengan ayah ibuku, dua adikku dan kakakku? Apa aku akan mengalaminya? Apakah mereka -orang tuaku- mengalami seperti halnya para orang tua yang sedang aku tatap ini? Aku tak sabar, ingin segera semua itu terjadi.
Mau tak mau aku harus mengakui aku trauma. Aku takut apa yang menimpa saudaraku juga menimpaku.
Aku tak mau. Tapi aku serasa sudah ada dalam area itu. Area ancaman yang berbahaya.
Orang Tak di Kenal dan Petuahnya
Bodoh. Mungkin itu yang akan kau katakan. Bodoh, kenapa takut dengan hal yang bahkan belum terjadi. tanpa terasa, bulir air mata itu akhirnya jatuh juga. Segera aku menghapusnya dan kembali focus untuk apa aku ada disini.
Aku keluar gedung untuk sejenak melepas kejengahan. Entah jalan Tuhan yang telah mengatur semua ini, aku terlibat obrolan ringan dengan salah seorang pengantar wisudawan. Seperti menjawab apa yang sedang berkemelut dalam pikiranku, ia memberi jawaban.
Awalnya ia bertanya, kapan wisudawan akan keluar gedung. Karena aku kebetulan tahu juklaknya, ya aku jawab saja jam 16.20. Lalu oborolan pun mengalir.
“Karena Mbak sudah menjawab pertanyaan saya, saya juga akan bawa oleh-oleh buat Mbak,” kata pria berkemeja rapi itu. Usianya kira-kira dua puluhan. Ia pekerja kantoran lulusan Teknik Informatika.
Ia mengomentari tentang penyambutan wisudawan yang disiapkan oleh tiap-tiap jurusan. Ia berkata, “Apa semua ini efisien?” katanya dengan nada biasa namun sarkatis. “Di dunia kerja, semua tak seperti yang kita dulu kira,” katanya melanjutkan.
Setelah aku gali, ternyata pria yang ternyata Hanif ini dulunya tidak pernah mengikuti kegiatan-kegiatan kemahaiswaan seperti ospek dan lain-lain. Ia seorang yang memegang kukuh ideologinnya.
Yang membuat aku tercenung adalah, “Yang harus mulai kita pegang adalah tiga Mbak,” katanya. Pertama, apa yang penting sekarang. Kedua Siapa yang penting sekarang. Dan Untuk apa yang ada pentingkan sekarang. “Semua harus efisien. Tapi tidak perlu dipikirkan sekarang. Jangan dianalisa, nanti juga mengerti sendiri,”
“Jangan takut melihat masa depan Mbak, Jalani saja apa adanya. Tapi bukan bererti pasrah,” katanya seperti membaca pikiranku.
Sekali lagi aku berada dalam momen ini. Momen yang selalu terulang tiap dua tahun sekali. Momen yang sama namun berbeda. Karena aku hari ini berada langsung dalam ruang utama gedung itu. Bersatu dengan mereka yang bertoga.
Ya, lagi-lagi aku berada di prosesi wisuda. Momen yang dinantikan semua pejuang-pejuang ilmu, termasuk aku. Setelah sebelumnya aku hanya melihat mereka dari luar gedung, kini aku melihat sendiri didalamnya. Bahkan sampai aku merasa aku mengalaminya.
Semua begitu terasa hangat dan bahagia melihat wajah-wajah berseri di depanku. Mereka menebar senyum ke teman samping kanan kirinya. Berbagi cerita tentang rasa memakai toga yang panas, juga ulah unik menuliskan “Calon Orang Sukses Vivat ITS” di topi Toganya.
Sungguh satu perasaan yang bisa terucapkan dengan kata. Bagaimana jika aku sendiri yang mangalaminya. Akankah? Pasti. Kapan? Pasti sebentar lagi. Aku menjawab pertanyaan yang terlontar dari diriku sendiri.
Tak berhenti sampai disana. Aku mengangkat kepalaku dan melihat jajaran orang tua mahasiswa yang melihat dengan bangga anaknya menjabat tangan sang Tetua menerima ijazah bertuliskan Sarjana Teknik berpredikat Dengan Pujian atau bahkan Sangat Memuaskan.
Di sebuah sudut Grha tempatku berdiri, aku menangkap seorang Bapak berperawakan gagah memakai seragam angkatan Laut lengkap berdiri dengan tangan tersikap didada. Ada juga bapak-bapak berkacamata yang sudah lanjut usia. Juga Ibu-ibu yang tak lagi kuat berdiri, yang pasti sudah memoles wajahnya sejak tadi namun sedikit luntur. Wajahnya mereka sama-sama mengatakan “Itu anakku,”
Sama seperti yang kurasakan sejak aku pertama melihat orang-orang didepanku melepaskan predikat mahasiswanya. Aku tercenung. Akankah aku juga merasakannya kelak? Apakah kedua orang tuaku akan juga berdiri diatas tribun dan melihatku memakai toga, dengan Gordon dileher dan ijazah ditangan?
Apa aku akan juga mengalami berfoto ria dengan ayah ibuku, dua adikku dan kakakku? Apa aku akan mengalaminya? Apakah mereka -orang tuaku- mengalami seperti halnya para orang tua yang sedang aku tatap ini? Aku tak sabar, ingin segera semua itu terjadi.
Mau tak mau aku harus mengakui aku trauma. Aku takut apa yang menimpa saudaraku juga menimpaku.
Aku tak mau. Tapi aku serasa sudah ada dalam area itu. Area ancaman yang berbahaya.
Orang Tak di Kenal dan Petuahnya
Bodoh. Mungkin itu yang akan kau katakan. Bodoh, kenapa takut dengan hal yang bahkan belum terjadi. tanpa terasa, bulir air mata itu akhirnya jatuh juga. Segera aku menghapusnya dan kembali focus untuk apa aku ada disini.
Aku keluar gedung untuk sejenak melepas kejengahan. Entah jalan Tuhan yang telah mengatur semua ini, aku terlibat obrolan ringan dengan salah seorang pengantar wisudawan. Seperti menjawab apa yang sedang berkemelut dalam pikiranku, ia memberi jawaban.
Awalnya ia bertanya, kapan wisudawan akan keluar gedung. Karena aku kebetulan tahu juklaknya, ya aku jawab saja jam 16.20. Lalu oborolan pun mengalir.
“Karena Mbak sudah menjawab pertanyaan saya, saya juga akan bawa oleh-oleh buat Mbak,” kata pria berkemeja rapi itu. Usianya kira-kira dua puluhan. Ia pekerja kantoran lulusan Teknik Informatika.
Ia mengomentari tentang penyambutan wisudawan yang disiapkan oleh tiap-tiap jurusan. Ia berkata, “Apa semua ini efisien?” katanya dengan nada biasa namun sarkatis. “Di dunia kerja, semua tak seperti yang kita dulu kira,” katanya melanjutkan.
Setelah aku gali, ternyata pria yang ternyata Hanif ini dulunya tidak pernah mengikuti kegiatan-kegiatan kemahaiswaan seperti ospek dan lain-lain. Ia seorang yang memegang kukuh ideologinnya.
Yang membuat aku tercenung adalah, “Yang harus mulai kita pegang adalah tiga Mbak,” katanya. Pertama, apa yang penting sekarang. Kedua Siapa yang penting sekarang. Dan Untuk apa yang ada pentingkan sekarang. “Semua harus efisien. Tapi tidak perlu dipikirkan sekarang. Jangan dianalisa, nanti juga mengerti sendiri,”
“Jangan takut melihat masa depan Mbak, Jalani saja apa adanya. Tapi bukan bererti pasrah,” katanya seperti membaca pikiranku.
Langganan:
Postingan (Atom)