ITS seperti kepanjangannya Institut Teknologi Sepuluh November, adalah institut yang kental dan mengarah ke bidang keteknikan. Terbukti dengan jajaran Fakultas serta jurusan yang berbasis Teknologi. Tapi di sisi lain ITS punya fakultas MIPA, fakultas yang menjadi dasar ilmu keteknikan itu. Sayangnya MIPA malah dianggap anak tiri.
Saya tersentak mendengar salah satu rangkaian pembicaraan saya bersama salah satu dosen FMIPA baru-baru ini. Kurang lebih isinya seperti ini, saat itu topiknya adalah tentang berdirinya kombong Robot FMIPA, dosen ini salah satu nara sumber saya,
“Lho Bapak apa tidak ikut bergabung dengan peneliti di Pusat penelitian Rpbot di gedung baru itu, Pak?” tanya saya
“Halla, kayak nggak taw saya, kalau tidak diajak ngapain harus minta di ajak?” jawab Bapak itu sembari tertawa, ada sedikit getir disana. Lalu Bapak itu melanjutkan karena melihat dahi saya yang berkerut.
“Yaah, begitulah, masa juga nggak ngrasa kita ini dianggap kelas dua?” saya manggut-manggut.
Mengerti kemana arah pembicaraan itu. Fakultas MIPA memang sering banyak ketinggalan di banyak hal dibanding fakultas-fakultas lain. Prestasi-prestasinya pun begitu, minim dan kalaupun ada juga tak terekspos dan tidak digembar-gemborkan seperti halnnya fakultas-fakultas kelas satu. Yang tiap jurusannya menyandang dua kata, teknik bla bla bla.
Selepas wawancara pun kutipan di atas masih sesekali bergaung di telinga. Saya heran kenapa itu semua bis aterjadi. Kaluau di runut dari berdirinya FMIPA sendiri, memang kalah tua dibanding FTSP ataupun FTK. Tapi juga tak lebih muda dari FTIF yang baru lahir tahun 2001, sedang FMIPA saat itu sudah dua kali umur balita.
Lalu pikiran saya kembali mendebat, ya karena di MIPA kan nggak ada embel-embel Teknik. Secara ITS itu institus Teknik, makanya yang di prioritaskan berkembang adalah fakultas dan jurusan yang bernama depan tenik. Masuk akal tapi itu mungkin jawaban yang bodoh.
Lagi, kenapa MIPA selalu dipandang sebelah mata. Jawaban dari orang-orang atas akan begini, “Prsetasi akan membuatmu bernilai lebih,” semacam sindiran sarkatis. Maka mahasiswa MIPA akan menjawab, “Gimana bisa bikin prestasi kalau tidak diberi bimbingan lebih.
Dan percakapan saya dengan Pak Dosen itu menyadarkan bahwa dosen-dosennya pun merasa hal yang sama seperti mahasiswanya.
Teringat jelas bagaimana saat masa orientasi massal yang diselenggarakan BEM ITS beberapa waktu lalu. SOROT namanya. Pengkaderan bareng-bareng dari semua fakultas dan jurusan se ITS. Disana, saya, sebagai salah satu warga FMIPA merasa kan adanya jurang pemisaj antara yang berbau embel-embel Teknik dan Tidak.
Arogansi jelas ada di setiap jiwa-jiwa mereka, si kelas satu. Dengan bangganya menyebut nama jurusannya. Dan saya, juga teman-tema yang lain ketika menjawab saat berkenalan akan berisni ketika ditanya dari jurusan apa, “Fisika,” dan akan diimbuhi tanya “TekFis?” dan dengan jengah menambahi juga kata “MIPA,”. Seperti mereka melupakan kalau juga ada jurusan Fisika di ITS bukan hanya teknik Fisika.
Kalu dibilang minder, tidak juga. Justru ingin rasanya membusungkan dada dengan ekspresi bangga atau menantang saat menyebutkan jurusan saya.. Dan sudah terlaksana juga, tapi tetap saja tidak bisa menghilangkan pandangan yan g seakan-akan merehkan itu.
Bicara masalah prestasi mahasiswanya, MIPA punya jagoan-jagoan juga yang tangguh. Fisika punya juara olimpiade tingkat nasionla, Matematika juga punya maahasiswa yang brangkat ke luar negeri utuk olimpiade internasionla. Guru besar juga ada, juga sampai menjadi pengajar di universitas luar negeri.
Lalu apa lagi? Mahasiswa bisnis? MIPA banyak, dari yang dagang roti keliling bahkan sampai dikelan seantero ITS, jual kain batik, sampai bisnis yang bekerjasama dengan perusahaan internasional pun ada. Lalu mengapa mata-mata diluar sana masih saja menganggap MIPA sebagai komunitas kelas dua yang hanya ada di bawah mereka yang kelas satu.
Semakin kesal saya saat melihat berita yang dimuat di halaman depan website ITS tentang Kombong Robot yang membawa saya menarikan jari-jari menulis artikel ini. Ada salah satu pengunjung yang mencoba mengometari salah satu club hobi di bidang Robotika itu.
“Naif, di sisi lain ada pusat robotika di ITS, tapi ujung2nya riset malah terkotak2 oleh organisasi kecil2 gini, apa sih susahnya bkerja sama, toh sama2 org Indonesia, sama2 berjuang,” begitu katanya.
Gemas rasanya tangan ini kepingin njitak.
Saya yakin kami semua, warga FMIPA, sama sekali tak butuh pengakuan untuk itu semua. Tapi yang terpenting adalah kami tidak ingin dipandang sebelah mata. Walau terdengar seperti ungkapan kegetiran, tidak mengapa asal masih ada yang mendengar.
Dan judul diatas sepatutnya begini “FMIPA Tidak Ingin Dianggap Anak Tiri”.