Suasana Ramadhan membuatku terkenang saat masih aktif menjadi santri di Pondok Pesantren Sunan Ampel Jombang. Memang pondok ini tidak sebeken pondok Tebuireng, Darul Ulum atau Tambak Beras.
Pondok ini hanya miliki sekitar 500 santri. Dari SMP hingga SMA. Kami boleh sekolah di luar pesantren. Malamnya kami semua ikut pendidikan diniyah dan kegiatan ngaji bersama kiai pengasuh pondok.
Suasana Ramadhan buatku paling berkesan saat di pesantren. Seharian full diisi dengan kegiatan ibadah.
Dini hari diawali dengan salat tahajud. Yang wajib adalah yang sudah kelas tiga baik SMP maupun SMA. Salatnya berjamaah di ndalem.
Diimami oleh Abah di rumah beliau. Sengaja tidak di masjid. Kami salat dengan kondisi temaram, tanpa cahaya lampu. Agar khusyuk tapi juga membuat lebih mengantuk. Hehe.
Setelah itu kami kembali ke kamar menunggu subuh. Bu nyai akan naik hingga lantai tiga membangunkan santrinya agar ikut jamaah.
Sebelumnya kami dikasih makan sahur. Menunya sangat sederhana. Nasi, dan sepotong tahu atau tempe. Itu saja selang seling.
Kalau nggak bangun dan lewat jamaah subuh, akan kena takzir. Hukuman. Bentuknya salat 25 rokaat di masjid umum. Selama mondok alhamdulillah aku hanya pernah merasakan takzir satu kali saja. Malunya nggak ketulungan. Karena bisa dilihat semua santri baik putra maupun putri.
Usai subuh ada mengaji Al Quran. Dibagi dua, ngaji sama Abah dan ngaji sama Ibuk. Saat pertama nyantri aku kebagian ngaji bersama ustadzah. Pertama ke Bu Ain, lalu ke Bu Desy.
Baru setelah itu ngajinya ke Ibuk. Ngajinya model semak. Aku mbaca, ibuk nyemak, kalau ada yang salah Ibuk bakal nggedok meja ngaji dan aku diminta ngulang.
Ngulangnya karena bacaannya nggak benar, kurang panjang bacaannya atau karena salah baca huruf. Selama mondok sayangnya nggak pernah ngaji sama Abah.
Hanya setiap Kamis setoran hafalan ke Abah. Hafalan Juz Ammah.
Pagi kami bebas dari kegiatan pondok. Yang sekolah boleh sekolah. Dan yang nggak, ada ngaji pagi bareng Abah dan penduduk kampung. Ngaji kitab.
Lalu nduhur jamaah bersama Ibuk. Untuk santri putri, jamaahnya di lantai dua. Aku ingat, sembari menunggu ibuk naik, kami mbaca pujian. Makin ingin cepat dimulai kami baca makin keras.
"Ibuk naik, ayok cepat atur shof," celetuk mbak ndalem yang selalu jadi aba-aba ibuk datang dan sholat akan segera dimulai. Santri yang masih nunggu di kamar pun akan bergegas keluar.
Lepas dhuhur kami bebas lagi. Jamaah salat ashar dilakukan juga di musholah pondok putri. Nggak di masjid. Hanya diimami sama Ibuk.
Aku paling suka sore di pondok. Dulu aku punya temen se geng. Haha. Samalah kayak di sekolah. Ada macam kelompok geng gitu.
Kalau di lantai tiga ada dua kelompok besar. Biasanya gabungan dari beberapa kamar. Kalau aku tiga kamar.
Anggotanya ada Mami atau nama aslinya Mbak Nunik, lalu Kak Pete atau Putri, lalu ada Tuyul alias Ria, ada Bokir alias Erin, ada Kunis alias Anis, lalu ada Jay alias Jayanti (belakangan dia pindahan dari kelompok sebelah), dan ada aku yang biasa diapnggil Kemol.
Nama kelompok kami Al Irsyad. Diambil dari nama kamar Mbak Nunik kak Pete dan Tuyul. Kalau kamarku sendiri namanya Al Firdaus.
Nah, setiap sore biasanya kami ngobrol. Ada nih tempat mojok, di lantai tiga ujung kamarnya si Sumi. Di sana ada balkon. Biasanya di sana sambil baca novel, rumpik, sambil mandang sekolah muhammadiyah dan jalanan depan Auror.
Kami bawa salah satu kasur lipat untuk dibeber di sana. Menikmati sepoinya angin sore. Kalau puasa begini spesial. Ada ngaji kitab hadis sampai jam lima.
Setelah itu kadaang keluar ke Kebon Rojo untuk beli lauk. Aku sih jarang. Jarang punya uang. Dan kebetulan aku nggak rewel soal makan.
Lauk tempe, rawon blonceng, sayur kunci udah enak. Syukur syukur kalau ada yang sambang terus kita dibagi. Senangnya bukan main.
Kami biasa makan bareng di kamar Al Irsyad. Sore gitu nyari adzan di balkon. "Kamu ngapain Mol," tanya mami Nunik. "Nyari adzan lain Mami, kali aja masjid lain udah adzan duluan," jawabku. Yang lain ngakak.
Maghrib kami jamaah di masjid. Selepas salat, dzikir, kami ngaji tafsir Jalalain sama Abah. Tafsir Al-Quran. Aku nggak punya kitabnya. Yang lain nafsir pakai pego. Aku enggak, aku nulis omongan abar di binder.
Aku pikirnya biar aku kapan kapan bisa ngulang baca. Dan lebih bisa dibawa kemaba-kemana. Kalau tafsir kitabnya kan susah dibawa kemana-mana ya.
Kami di sana sampai isya. Lepas isya kami balik ke pondok dan langsung diniyah. Diniyahnya sampai jam sembilan. Aku selalu ringking alhamdulillah di diniyah.
Setelah itu bebas. Ada yang belajar ada pula yang rumpik di kamar. Aku sih belajar. Di kamarku aada adik-adik anak SMAN 2 dan SMAN 3.
Mereka manggil aku MaKemol. Aku emaknya, ceritanya. Bareng mereka aku semangat belajar. Kerasa banget.
Uniknya aku nggak serajin belajar di rumah saat di pondok. Eh malah aku ringking satu lho masihan saat dinpondok. Paralel pula. Alhmadulillah, barokahnya mondok kali.
Setelah itu, setiap Ramadhan, yang kelas tiga wajib ikut ngaji kitab hadist. Setiap tahun gantian dari tujuh imam Hadist. Saat aku mondok disana kebagian ngaji kitab Tirmidzi.
Ngajinya mulai jam sepuluhan malam sampai jam satuan. Sama pas ngaji tafsir Jalalain, aku juga nulis di binder. Di bawah cahaya temaram, Abah sempet ngomentarin aku.
Ya aku ada kitabnya, dulu paroan sama temen. Jadi aku jilid 1-3 kayaknya. Dia lanjuta nya.
Nah, aku nulis tafsir yang dibaca Abah di bindir. "Kok nggak nafsir di kitab iku lapo??" Kata Abah.
Aku nggak berani jawab. Aku cuma jawab, kitabnya di atas Bah, nyatet di sini cukup. Mungkin abah heran, aku nafsrinya pakai tulisan Indonesia, sedangkan yang lain di pego.
Aku bawa kitab, tapi tetap bawa selempir kertas binder buat nulis tafsirannya. Sampai kuliah, kadang aku masih suka baca tafsiran itu.
Begitulah sehari-hari di Pondok Pesantren Sunan Ampel. Masa-masa sejenak dalam seumur hidupku yang paling nyaman, aman dan tenteram.
Banyaj teman, banyak kegiatan yang islami. Semua masa mondok adalah yang paling dirindukan.
Makasih Ayah Ibuk, sudah diberi pengalaman mondok. Padahal dulu pas masih SMP sempet ngambek saat tahu bakal dipondokkan.
☺☺☺